Halaman

Sabtu, 02 April 2016

fenomena negara hukum, terpidana koruptor lebih terhormat daripada tersangka teroris

fenomena negara hukum, terpidana koruptor lebih terhormat daripada tersangka teroris

Entah ada berapa perbedaan sekaligus persamaan antara koruptor dengan teroris. Jika diadakan lomba, kompetisi, untuk mencari figur yang paling top, tenar, apakah tokoh koruptor yang elegan atau sosok teroris yang misterius. Atau anak didik setingkat SD, dievaluasi siapa saja tokoh, sosok yang paling banyak dihafal. Tak ada kaitannya dengan pendangdut lokal. Apakah muncul nama orang yang gemar tampil di media TV atau malah pesohor olah raga.

Berkat napi koruptor, lapas, rutan atau sebutan lainnya, bisa berubah menjadi bak hotel berbintang, minimal melati plus. Napi koruptor tidak bisa bersaing dengan produktivitas dan profesionalisme bandar narkoba, walau sama-sama sebagai sumber penghasilan petugas penjara. Minimal pengusaha media massa kecipratan rezeki liwat tayang ulang kasus korupsi yang melibatkan partai yang sedang berkuasa.

Menjadi koruptor karena terkena operasi tangkap tangan piha berwajib (baca KPK), tapi masih selamat tidak babak belur atau mendadak setor nyawa. Beda dengan tersangka teroris. Kata politikus lokal yang tidak perbah dikenal, siapa suruh jadi teroris. Makanya jangan jadi teroris, hanya menghabiskan satu-satunya nyawa. Kucing yang dikenal mempunyai nyawa rangkap, tidak berani jadi teroris. Paling-paling mencuri lauk di dapur tetangga majikannya.

Walau koruptor produk lokal, tidak ada jaringan internasionalnya, dan kasusnya hanya sekedar merugikan negara. Tidak membawa korban harta benda, terutama jiwa yang menjadi ciri dampak ulah teroris. Jangan diartikan bahwa tipikor sebagai produk sampingan ataupun produk unggulan dari dampak kebijakan partai. Kendati pelaku korupsi didominasi oleh oknum yang lahir dari rahim partai.

Ada teroris yang mudah dibekuk, saking mudahnya bak pepatah Jawa ‘koyo ulo marani gebuk’. Tak kurang cikal bakal teroris yang gampang dilacak, mudah diendus, namun susah diudak, sulit diuber. Geografis teritorial di Jawa dan di luar Jawa yang membedakan mudah tidaknya teroris ditindak. Teroris kota, apalagi di pulau Jawa, hanya dalam hitungan hari sudah gemilang dibekuk. Bahkan belum ber-aksi, berbuat sudah kedahuluan aparat. Kalau yang beroperasi di luar pulau Jawa, masih berlanjut. Penggerebekan sarang teroris, diliput langsung media massa atau masih hangat tayangan langsung kejadian peristiwa berbasis ledakan dan tembakan di seputar gedung “Sarinah”, Jakarta, ibu kota negara Republik Indonesia, sebagai TKP, kamis pagi waktu lokasl, 14 Januari 2016 – yang membangkitkan semangat heroisme dan nasionalisme anak bangsa.

Sebagai negara hukum, kita harus yakin sopo sing salah tetep salah. Becik ketitik, olo ketoro. Tentunya kita tak sekedar mengandalkan tema bahwa kebenaran akan menang. Menang di babak akhir setelah babak belur, habis-habisan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar