fenomena negara
hukum, terpidana koruptor lebih terhormat daripada tersangka teroris
Entah
ada berapa perbedaan sekaligus persamaan antara koruptor dengan teroris. Jika
diadakan lomba, kompetisi, untuk mencari figur yang paling top, tenar, apakah tokoh
koruptor yang elegan atau sosok teroris yang misterius. Atau anak didik
setingkat SD, dievaluasi siapa saja tokoh, sosok yang paling banyak dihafal.
Tak ada kaitannya dengan pendangdut lokal. Apakah muncul nama orang yang gemar
tampil di media TV atau malah pesohor olah raga.
Berkat
napi koruptor, lapas, rutan atau sebutan lainnya, bisa berubah menjadi bak
hotel berbintang, minimal melati plus. Napi koruptor tidak bisa bersaing dengan
produktivitas dan profesionalisme bandar narkoba, walau sama-sama sebagai
sumber penghasilan petugas penjara. Minimal pengusaha media massa kecipratan
rezeki liwat tayang ulang kasus korupsi yang melibatkan partai yang sedang
berkuasa.
Menjadi
koruptor karena terkena operasi tangkap tangan piha berwajib (baca KPK), tapi
masih selamat tidak babak belur atau mendadak setor nyawa. Beda dengan
tersangka teroris. Kata politikus lokal yang tidak perbah dikenal, siapa suruh
jadi teroris. Makanya jangan jadi teroris, hanya menghabiskan satu-satunya
nyawa. Kucing yang dikenal mempunyai nyawa rangkap, tidak berani jadi teroris.
Paling-paling mencuri lauk di dapur tetangga majikannya.
Walau
koruptor produk lokal, tidak ada jaringan internasionalnya, dan kasusnya hanya
sekedar merugikan negara. Tidak membawa korban harta benda, terutama jiwa yang
menjadi ciri dampak ulah teroris. Jangan diartikan bahwa tipikor sebagai produk
sampingan ataupun produk unggulan dari dampak kebijakan partai. Kendati pelaku
korupsi didominasi oleh oknum yang lahir dari rahim partai.
Ada
teroris yang mudah dibekuk, saking mudahnya bak pepatah Jawa ‘koyo ulo marani
gebuk’. Tak kurang cikal bakal teroris yang gampang dilacak, mudah diendus,
namun susah diudak, sulit diuber. Geografis teritorial di Jawa dan di luar Jawa
yang membedakan mudah tidaknya teroris ditindak. Teroris kota, apalagi di pulau
Jawa, hanya dalam hitungan hari sudah gemilang dibekuk. Bahkan belum ber-aksi,
berbuat sudah kedahuluan aparat. Kalau yang beroperasi di luar pulau Jawa,
masih berlanjut. Penggerebekan sarang teroris, diliput langsung media massa
atau masih hangat tayangan langsung kejadian peristiwa berbasis ledakan dan tembakan di seputar
gedung “Sarinah”, Jakarta, ibu kota negara
Republik Indonesia, sebagai TKP, kamis pagi waktu lokasl, 14 Januari 2016 –
yang membangkitkan semangat heroisme dan nasionalisme anak bangsa.
Sebagai
negara hukum, kita harus yakin sopo sing salah tetep salah. Becik ketitik,
olo ketoro. Tentunya kita tak sekedar mengandalkan tema bahwa kebenaran
akan menang. Menang di babak akhir setelah babak belur, habis-habisan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar