Menyapu Bayang-Bayang
Titik Temu
Tempe dan tahu, merupakan teman makan nasi khas rakyat, bisa memicu dan
memacu goncangan sosial. Golongan masyarakat menengah dalam waktu yang
bersamaan butuh transportasi udara, harga tiket pesawat ikut melambung dan
membubung. Harga kursi lima tahunan yang diperebutkan ribuan petaruh, menjadi bola
liar dan tak terukur.
Ketika kedelai masuk ranah politik, ketika tiket menjadi menu konsumtif,
ketika kursi wakil rakyat/kepala daerah bernilai ekonomis, ceritanya jadi lain.
Mahzab ilmu pengetahuan negara maju pun tidak akan mampu merumuskannya. Bukan
sekedar salah kaprah.
Campur baur, tumpang tindih, atau saling lempar tanggung jawab menjadi menu
dan sajian harian kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Untuk
mencapai sukses dunia, anak bangsa memanipulasi watak dan tidak memerankan
dirinya sendiri.
Kemelut kehidupan menjadi semakin kalut, siapa pun bisa menjadi apa dan
siapa saja. Apa pun bisa terjadi atau tak terjadi. Sudah tidak tersedia cermin
untuk dibelah, malah bangga dengan berbagai keburukan. Berani beda, berani malu
menjadi usang, dibutuhkan berani dosa untuk tetap eksis dan berkibar di
panggung politik.
Tak Akan Lari
Hukum di era Reformasi, selain seolah
jalan di tempat, tebang pilih, hanya heboh di awal kasus, setelah itu meredup.
Media massa, dengan berbagai acara tayangan di TVswasta mengambil alih lembaga
peradilan dan pengadilan. Acara bukan untuk membongkar mafia kasus, melacak
dalang intelektual, menyingkap skenario terselubung, mengungkap fakta lapangan tetapi
malah mengacak-acak emosi dan opini pemirsa.
Mata indra manusia acap terkecoh, apalagi
mata hati. Melihat tingkah laku manusia dan mesin politik, tidak perlu pakai
kacamata moral. Kesalahan bukan pada mata kita, pada apa yang kita lihat
menyerupai adegan yang tidak layak ditonton apalagi ditiru.
Persepsi tentang persoalan dan kenyataan
hidup, kita menatap fatamorgana seolah nyata, atau sebaliknya. Bahasa manusia
dalam menyikapi hidup tersurat pada [QS An Naml (27) : 88] : “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di
tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan
Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Benang merah antara rakyat di satu kutub dengan wakil rakyat/kepala daerah
di kutub lainnya adalah urusan perut. Kontradiksi pada : rakyat bergulat modal
dengkul untuk isi perut sehari, kutub lainnya berjibaku demi kesenangan hidup
dan kemewahan dunia.
Penyelenggara negara beda tugas dan fungsi dengan pemimpin umat. Internal
penyelenggara negara, pada trias politica bukannya saling mengingatkan,
malah saling menjegal. Koalisi parpol 2009-2014 sebagai bukti antara eksekutif
dan legislatif tidak memperjuangkan nasib rakyat. Kuadran abu-abu, samar bahkan syubhat menjadi ajang
perebutan, penyebab konflik horizontal antar lapisan masyarakat.
Ajang Laga
Ironisnya, banyak pimpinan umat lebih getol atau gemar jika terjadi
gonjang-ganjing politik. 2014 merupakan puncak petaruhan antar berbagai
kepentingan. 2013 membuktikan kecerdasan rakyat atau bentuk lain kepedulian,
kepekaan dan daya tanggap pada sosok calon kepala daerah. Merebaknya pemilih
dalam pilkada yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagai refleksi dari sistem
demokrasi yang tidak mulai dari bawah dan mengakar ke bawah.
Umat Islam yang mayoritas populasinya, keislamannya tergantung pada
atribut, predikat dan profesinya. Mereka terjebak kewajiban taat aturan lokal
daripada melaksanakan syariat Islam secara total. Tanpa ragu dengan wajah tanpa
dosa melanggar janji formal dan sumpah religinya [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar