Halaman

Jumat, 15 April 2016

perilaku konsumtif politik Nusantara, entek amek kurang golek

perilaku konsumtif politik Nusantara, entek amek kurang golek

Kandungan deposit ideologi Indonesia seolah tak akan habis, walau diserap dan diperas oleh ratusan partai politik. Jargon politik yang sarat dengan makna/simbol nasionalisme, heroik, pancasilais bisa membuat gentar hati musuh, lawan, seteru atau pihak yang menganggap enteng, ringan Indonesia, karena mendayagunakan kandungan ideologi nasional. Pertambahan alami, peremajaan alami, proses daur ulang akibat dikurasnya sumber daya ideologi, walau dilakukan tiap hari,  malah semakin melimpah.

Masalahnya, apakah sumber daya ideologi sebagai sumber daya yang terbarukan atau tidak, dalam arti sekali pakai, habis, buang. Namun jika mengacu makna di alenia pertama, tersurat dan tersirat bahwa pendayagunaan kandungan ideologi belum maksimal, apalagi optimal.

Atau, sebaliknya, lepas dari hasil survei tanpa survei, survei berbayar, survei dengan metoda hitung mundur, yang menyisakan pertanyaan besar : jangan-jangan kandungan ideologi yang dipakai bukan intisari, jantung, hakikat dari suatu ideologi. Belum menyentuh esensi ber-ideologi dengan benar dan baik. Baru mengupas kulitnya saja, yang mungkin tampak atraktif, provokatif dan serba menjanjikan. Artinya, sumbernya belum tersentuh. Kalau ada, masih dalam wacana. Padahal sudah diawali dan dimulai oleh para pendiri bangsa.

Apakah, karena kadar pelaku dan pemain politik Indonesia, pasca Proklamasi 17 Agustus 1945 dan terlebih pasca Reformasi 21 Mei 1998, sedemikian terkontaminasi urusan duniawi, sehingga laku ideologinya bersifat komersial. Daya juang dan kadar ideologi petugas partai sampai bandar politik, terpantau masih menggelora, dinamis, dan berani akting adegan apa saja. Siap memerankan skenario yang bagaimanapun rumitnya, asal timbal balik finasial menjanjikan.

Pendayagunaan sumber daya ideologi yang merupakan fungsi perjuangan, pengorbanan, pengabdian semakin susut dan surut. Di lapangan, kebijakan partai menjadi acuan utama. Tinggal dijalankan tanpa sempat berfikir. Semakin loyal, patuh, taat, tunduk pada partai, maka argo Rp semakin melaju. Apa ada pejabat teras, elit partai yang miskin. Indonesia sudah bisa meniru gaya politik sehat negara maju, yaitu kaya dahulu, baru jadi menteri. Kaya sejak lahir, dari sono-nya, sudah makmur dan sejahtera, sehingga siap menerima warisan kekuasaan, limpahan wewenang mengatur bangsa dan negara.

Jika terjadi, betapa pejuang ideologi bawah tanah, begitu muncul di permukaan, malah tersapu, terkena razia KPK. Seleksi alam, buah busuk jatuh duluan. Kenyang asam garam berbagai aliran ideologi, malang melintang di panggung, industri, syahwat politik, ternyata karena merasa daya tampung berskala nasional, masih belum puas dengan hasil yang diraih. Sekali tepuk, dua tiga proyek tergarap, sudah kuno. Sekali dayung, dua tiga proyek tertangani, sudah gaya lama. Minimal, hasil satu periode tak habis sampai tujuh turunan (ini memakai bahasa rakyat kuno).

Satu-satunya kemajuan, keberadaan dan jati diri ideologi Nusantara yaitu pada falsafah, pemikiran, dogma, logika, akal, nalar bahwa ideologi yang diwujudkan sebagai gerakan politik adalah cara merebut kekuasaan secara konstitusional, legal, sah, beradab dan berdasarkan hukum. Paham ini menyebabkan kawanan parpolis memandang, menjadikan dan menetapkan ideologi yang digeluti lewat jalur partai politik sebagai harga mati. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar