perilaku konsumtif politik Nusantara, entek amek kurang golek
Kandungan deposit ideologi Indonesia seolah
tak akan habis, walau diserap dan diperas oleh ratusan partai politik. Jargon
politik yang sarat dengan makna/simbol nasionalisme, heroik, pancasilais bisa
membuat gentar hati musuh, lawan, seteru atau pihak yang menganggap enteng,
ringan Indonesia, karena mendayagunakan kandungan ideologi nasional. Pertambahan
alami, peremajaan alami, proses daur ulang akibat dikurasnya sumber daya
ideologi, walau dilakukan tiap hari, malah
semakin melimpah.
Masalahnya, apakah sumber daya ideologi sebagai
sumber daya yang terbarukan atau tidak, dalam arti sekali pakai, habis, buang.
Namun jika mengacu makna di alenia pertama, tersurat dan tersirat bahwa pendayagunaan
kandungan ideologi belum maksimal, apalagi optimal.
Atau, sebaliknya, lepas dari hasil survei
tanpa survei, survei berbayar, survei dengan metoda hitung mundur, yang
menyisakan pertanyaan besar : jangan-jangan kandungan ideologi yang dipakai
bukan intisari, jantung, hakikat dari suatu ideologi. Belum menyentuh esensi
ber-ideologi dengan benar dan baik. Baru mengupas kulitnya saja, yang mungkin
tampak atraktif, provokatif dan serba menjanjikan. Artinya, sumbernya belum
tersentuh. Kalau ada, masih dalam wacana. Padahal sudah diawali dan dimulai
oleh para pendiri bangsa.
Apakah, karena kadar pelaku dan pemain
politik Indonesia, pasca Proklamasi 17 Agustus 1945 dan terlebih pasca
Reformasi 21 Mei 1998, sedemikian terkontaminasi urusan duniawi, sehingga laku
ideologinya bersifat komersial. Daya juang dan kadar ideologi petugas partai
sampai bandar politik, terpantau masih menggelora, dinamis, dan berani akting
adegan apa saja. Siap memerankan skenario yang bagaimanapun rumitnya, asal
timbal balik finasial menjanjikan.
Pendayagunaan sumber daya ideologi yang
merupakan fungsi perjuangan, pengorbanan, pengabdian semakin susut dan surut.
Di lapangan, kebijakan partai menjadi acuan utama. Tinggal dijalankan tanpa
sempat berfikir. Semakin loyal, patuh, taat, tunduk pada partai, maka argo Rp
semakin melaju. Apa ada pejabat teras, elit partai yang miskin. Indonesia sudah
bisa meniru gaya politik sehat negara maju, yaitu kaya dahulu, baru jadi
menteri. Kaya sejak lahir, dari sono-nya, sudah makmur dan sejahtera,
sehingga siap menerima warisan kekuasaan, limpahan wewenang mengatur bangsa dan
negara.
Jika terjadi, betapa pejuang ideologi bawah
tanah, begitu muncul di permukaan, malah tersapu, terkena razia KPK. Seleksi alam, buah busuk jatuh duluan. Kenyang
asam garam berbagai aliran ideologi, malang melintang di panggung, industri,
syahwat politik, ternyata karena merasa daya tampung berskala nasional, masih
belum puas dengan hasil yang diraih. Sekali tepuk, dua tiga proyek tergarap,
sudah kuno. Sekali dayung, dua tiga proyek tertangani, sudah gaya lama.
Minimal, hasil satu periode tak habis sampai tujuh turunan (ini memakai bahasa
rakyat kuno).
Satu-satunya kemajuan, keberadaan dan jati
diri ideologi Nusantara yaitu pada falsafah, pemikiran, dogma, logika, akal,
nalar bahwa ideologi yang diwujudkan sebagai gerakan politik adalah cara
merebut kekuasaan secara konstitusional, legal, sah, beradab dan berdasarkan
hukum. Paham ini menyebabkan kawanan parpolis memandang, menjadikan dan
menetapkan ideologi yang digeluti lewat jalur partai politik sebagai harga
mati. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar