panen
perdana revolusi mental, restorasi politik vs reklamasi politik
Kosa kata atau frasa ‘restorasi politik’ dan ‘reklamasi
politik’ dalam kamus politik Nusantara sangat dinamis. Tidak ada definisi baku.
Mekanisme pasar tidak menjamin ketersediaan bahan baku sebagai alat bukti
hindar diri dari jeratan pasal hukum. Harga jual atau nilai jualnya sangat
fluktuatif.
Antar kejadian perkara berbasis ‘restorasi
politik’ dan ‘reklamasi politik’ tidak ada benang merahnya, tidak bisa diambil
kesimpulan yuridis. Kebijakan partai yang paling banyak menghabiskan asam
garamnya peta politik, seolah mati angin. Bandar politik yang ahli kipas-kipas
menebar pengharu-rasa diperkuat ahli ucap/cuap berhiba-hiba, malah kelihatan
aslinya.
Pelaku, pemain politik sudah tidak bisa
membedakan mana kanan, mana kiri. Semakin berkubang dengan lumpur kekuasaan,
tidak pandang gender, semakin tidak bisa membedakan mana atas, mana bawah.
Semakin berpesta di atas penderitaan rakyat, kawanan parpolis penyelenggara
negera semakin gemar berfoya-foya.
Semangat otonomi daerah, menjadikan daerah
provinsi maupun daerah kabupaten/kota sebagai sumber penghasilan tambahan. Tanah
air-ku kalau bisa dilipat, mengapa dibiarkan mangkrak. Negara saja bisa menjual
kekayaan alam dengan percuma kepada pihak negara adikuasa. Oknum anak bangsa
memarkir kekayaan di luar negeri, dengan dalih agar aman dari jangkauan tukang
palak. Wajar, hasil kejahatan jangan sampai dijahati pihak lawan.
Diam-diam revolusi mental, tanpa teori yang mencengangkan akal rakyat, sudah berdampak
menerus. Tanpa terasa telah dan selalu melahirkan Orang Korupsi Baru (OKB). [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar