Halaman

Senin, 04 April 2016

daya dorong perilaku koruptif, tekanan politik vs tekanan jiwa

daya dorong perilaku koruptif, tekanan politik vs tekanan jiwa

Hanya terjadi di Indonesia, bahwa petugas partai mampu jadi presiden, kepala negara. Bayangkan betapa hebatnya kalau sang bandar politik, ketua umum parpol pehgusungnya, jangan-jangan bisa mendaulat dirinya secara konstitusional sebagai presiden senior.

Olahragawan tidak menjadikan kalah menang dalam pertandingan, laga, kompetisi sebagai tolok ukur kesuksesan. Tampil konsisten, sportivitas membara, jaga stamina, mental petanding (siap kalah siap menang) yang diutamakan. Tidak bisa tampil di adu prestasi, tetap berlatih, memperdalam ilmu, mempelajari kekurangan diri.

Anak bangsa yang hidup dari panggung, industri, syahwat politik, bahkan sekaliber yang pernah menjabat wakil presiden/presiden ternyata tidak siap menang. Menerima kekalahan dalam pesta demokrasi dengan melakukan berguru pada angan-angan, mendewa-dewakan ambisi, mengoptimalkan akal politik untuk mengkalkulasi mengapa kalah (di atas kertas yakin merasa menang, mengandalkan rekam jejaknya).

Sudah nasib bangsa ini mempunyai partai atau yang setingkat, yang berpengalaman di zaman Orde Baru, begitu kran demokrasi terbuka luas sejak 21 Mei 1998, malah seperti kehilangan jiwa, kehilangan pegangan hidup. Golkar yang mereformasi diri menjadi partai golkar dan “melahirkan” berbagai jenis parpol baru. PPP membelah diri menjadi partai islam dan partai berbasis masa Islam. PDI-P tetap dikangkangi si moncong putih-nya menjadi perusahaan ideologi keluarga.

Hasilnya di pasca Reformasi, khususnya di era mégatéga, dengan acara serba mégakasus, dibalut rasa revolusi mental, menyuburkan perilaku koruptif atau KKN. Nepotisme versi revolusi mental adalah kekuasaan bisa diwariskan secara konstitusional. Kolusi diformat ulang agar tampak bermartabat dengan bungkus koalisi.

Pepatah ‘ada gula ada semut’ jangan hanya memandang apa itu gula, tetapi justru harus lebih kepada makna bagiamana semut. Menghadapi mangsa besar, komunitas, koloni, koalisi semut maju bareng tanpa kompromi. Ada pembagian tugas yang jelas berdasarkan keahlian atau postur tubuh yang menunjukkan fungsi khusus.

Semut politik Indonesia, begitu ada mangsa tak bertuan, kalau mampu pasti dilahap sendiri, disantap secara mandiri tanpa tengok kanan kiri. Begitu melihat kursi tanpa isi. merasa dirinya pantas, layak menduduki tanpa ukur diri, tanpa ukur baju. Persoalan nanti digoyang, serahkan kepada bandar politik.

Semut politik Indonesia menjadi ahli menimbun segala rupa benda. Kalau benda tak bertuan diputihkan, dilegalkan agar menjadi benda bertuan. Menjadikan dirinya tuan dari benda tersebut. Bukan hanya mengalalkan segala cara, tetapi sudah meningkat bahwa upaya politik berdampak pada upaya ekonomi secara legal. Artinya, mengambil keuntungan finansial akibat dari kewenangannya sebagai penyelenggara negara, bukan atau tidak masuk pasal tipikor.

Semut politik Indonesia tidak hanya bergerilya di meja makan, di dapur tetapi sampai merambah ke bak sampah rumah tangga. Bangkai binatang pun tak luput dari sergapannya. Tak boleh lengah sedetikpun. Kelamaan duduk di kursi empuk, kaki menjadi kesemutan. Kelamaan duduk di bangku cadangan, otak menjadi kesemutan. Duduk manis menikmati pasal kewenangan, menjadikan jiwa kesemutan, mengarah ke tindakan sewenang-wenang.

Semut politik Indonesia sudah memasuki fase pemakan segala. Mulai merecoki urusan dapur rakyat sampai mengobok-obok urusan dan kepentingan dapur negara. Dinamika politik dalam negeri memposisikan terpidana korupsi bukan orang jahat.  Semua kesalahan tertutup oleh jasa politiknya bagi partai tentunya. Bukan berarti di tubuh parpol sudah ada pembagian tugas yang jelas sesuai keahlian atau posisi strategisnya. Kalau perlu bandar politik bisa turun gunung. Terlebih menghadapi pilkada sebagai ajang batu loncatan ke pilpres 2019.[HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar