Halaman

Jumat, 01 April 2016

pengkhianat negara versi revolusi mental

pengkhianat negara versi revolusi mental

Frasa ‘pengkhianat negara’ sudah jarang dipakai untuk menjustifikasi seseorang, bahkan walau sebagai tersangka tipikor yang sudah mempunyai keputusan hukum tetap. Itulah Indonesia-ku. Indonesia-mu bagaimana?

Penyelenggara negara yang terjegal, terganjal, terjagal pasal merugikan negara, tidak serta merta mendapat stigma ‘pengkhianat negara’. Bahasa hukum dalam praktiknya sangat jauh dengan penggunaan bahasa politik.

Orang politik berkat daya guna, hasil guna, mandraguna dan guna-guna revolusi mental, berbuah manis, menjadikan posisinya di atas hukum buatan manusia. Terlebih orang politik yang sedang terikat kontrak politik lima tahu pasca pesta demokrasi. Masuk kategori memiliki kekebalan diplomatik dalam negeri. Tertangkap tangan, tertangkap basah, masih ada pasal kebijakan partai yang tidak bisa dilawan.

Mungkin, penerapan frasa ‘pengkhianat negara’ terkait dengan kerja sama, kolaborasi dengan musuh negara, atau pihak lawan negara yang sedang bersengketa. Banyak kejadian perkara yang dilakukan anak bangsa yang menguntungkan negara lain.

Pengiriman TKW, berobat ke luar negeri, menabung di bank negeri orang, atau praktik lainnya yang tidak diketahui umum, bukankah sebagai bentuk nyata memakmurkan dan mensejahterakan negara lain. Diasosiasikan dengan non-nasionalisme atau bahkan masuk stadium anti-nasionalismen, itu urusan masing-masing.

Nasionalisme dalam negeri atau rasa kebangsaan, jangan-jangan sudah luntur tanpa diketahui awal mula, sebab-musababnya. Berkat ramuan mujarab revolusi metal, partai politik bertingkah bak negara kecil. Negara dalam negera. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar