pengkhianat
negara versi revolusi mental
Frasa
‘pengkhianat negara’ sudah jarang dipakai untuk menjustifikasi seseorang,
bahkan walau sebagai tersangka tipikor yang sudah mempunyai keputusan hukum
tetap. Itulah Indonesia-ku. Indonesia-mu bagaimana?
Penyelenggara
negara yang terjegal, terganjal, terjagal pasal merugikan negara, tidak serta
merta mendapat stigma ‘pengkhianat negara’. Bahasa hukum dalam praktiknya
sangat jauh dengan penggunaan bahasa politik.
Orang
politik berkat daya guna, hasil guna, mandraguna dan guna-guna revolusi mental,
berbuah manis, menjadikan posisinya di atas hukum buatan manusia. Terlebih
orang politik yang sedang terikat kontrak politik lima tahu pasca pesta
demokrasi. Masuk kategori memiliki kekebalan diplomatik dalam negeri. Tertangkap
tangan, tertangkap basah, masih ada pasal kebijakan partai yang tidak bisa
dilawan.
Mungkin,
penerapan frasa ‘pengkhianat negara’ terkait dengan kerja sama, kolaborasi
dengan musuh negara, atau pihak lawan negara yang sedang bersengketa. Banyak
kejadian perkara yang dilakukan anak bangsa yang menguntungkan negara lain.
Pengiriman
TKW, berobat ke luar negeri, menabung di bank negeri orang, atau praktik
lainnya yang tidak diketahui umum, bukankah sebagai bentuk nyata memakmurkan
dan mensejahterakan negara lain. Diasosiasikan dengan non-nasionalisme atau
bahkan masuk stadium anti-nasionalismen, itu urusan masing-masing.
Nasionalisme
dalam negeri atau rasa kebangsaan, jangan-jangan sudah luntur tanpa diketahui
awal mula, sebab-musababnya. Berkat ramuan mujarab revolusi metal, partai
politik bertingkah bak negara kecil. Negara dalam negera. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar