kesenjangan politik dan
cikal bakal disintegrasi bangsa
KOCAP KACARITA
Entah apa saja efek
domino Indonesia sebagai negara multipartai. Sejak pemilu pertama 1955 sampai
pesta demokrasi 2014, sudah berapa puluh, bahkan ratus, partai politik tumbuh
layu, tumbuh berkembang maupun tumbuh tumbang.
Tidak bisa disangkal
kalau ada hubungan, interaksi, timbal balik, antara presiden dengan partai
politik. Ironisnya, keharmonisannya tidak bisa ditarik benang merah. Tentu,
masih bisa diambil kesimpulannya. Kita tetap tidak bisa menjabarkan secara
gamblang apa itu ‘kejahatan politik’.
Kejahatan ekonomi,
kejahatan sosial, kejahatan hukum menjadi menu harian kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat.
KILAS BALIK
Jokowi : Kesenjangan Sosial Timbulkan Radikalisme
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Rabu, 16
Desember 2015, 13:28 WIB -- Presiden RI
Joko Widodo menyatakan kesenjangan sosial, khususnya antara si kaya dan si
miskin yang terjadi saat ini akan menimbulkan radikalisme.
"Semua pihak agar memperhatikan semua masalah yang ada," kata Presiden Jokowi saat memberikan pengarahan kepada peserta Rapat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia (Rapim TNI) Tahun Anggaran 2016 di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (16/12).
Ia menegaskan, tantangan utama kita adalah kemiskinan, ketimpangan, baik antarwilayah maupun kesenjangan antara kaya dan miskin. "Ini adalah pekerjaan rumah (PR) kita bersama. Distribusi kesejahteraan rakyat yang belum merata," kata dia.
Jokowi menunjuk data yang dikeluarkan World Bank soal GINI Ratio Indonesia yang mencapai 0,41. Artinya, ada 1 persen rumah tangga Indonesia menguasai 50 persen kekayaan bangsa. "Kita tidak antiorang kaya raya. Kita ingin rakyat kita kaya semua. Akan tetapi, kalau ada yang superkaya dan ada yang makan saja sulit, itu ada gap. Ini harus didekatkan oleh anggaran dan kebijakan lapangan. Kemiskinan dan kesenjangan sosial, berbahaya dan jadi bahan bakar konflik sosial, separatis, radikalisme, ekstrimisme, hingga terorisme," tutur Jokowi.
Ia mengakui kesenjangan yang ada tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara lain juga terjadi dengan perbandingan yang berbeda-beda antara kaya dan miskin. Namun, masyarakat Indonesia harus menyadari hal itu dan harus diperhatikan bersama mengingat ancaman ISIS dan terorisme salah satunya karena adanya kesenjangan yang terjadi.
"Harus deteksi dini betapa bahayanya ini. Pendataan, pendampingan, dan langkah konkret, langkah terobosan deradikalisasi harus terus-menerus dilakukan," kata Jokowi.
Sumber : Antara
FAKTA LAPANGAN
Kesenjangan politik
bukan sekedar kadar politik yang berbeda jauh. Bukan sekedar rekam jejak para
pelaku, pegiat, petugas partai. Kesenjangan politik beriringan dengan fenomena
kesenjangan social yang dipaparkan oleh presiden ke-7 RI. Singkat kata, ada
oknum orang politik yang tinggal di gedong
magrong—magrong. Tak sedikit pejuang politik yang inap di gubuk.
Pengalaman mengatakan, saat kampanye, politisi dengan watak politiknya memposisikan diri dan menampilkan
diri sebagai pelayan yang setia. Begitu setelah berkuasa, langsung, otomatis
mempraktikkan diri sebagai bandar, penguasa tunggal, majikan, tuan besar, juragan yang seolah merasa
sebagai penentu nasib pemilihnya.
Antara si pelaku, pegiat, petugas partai dengan bandar politik, tidak ada bedanya. Mereka
sama-sama memikirkan nasibnya pada pesta demokrasi berikutnya. Banyak contoh
yang bisa kita saksikan di era Reformasi ini.
Ketika kekuasaan sebagai hak milik keluarga, disitulah telah terjadi
pembibitan disintegrasi bangsa. Ketika pribumi tidak menjadi pemilik bangsa
ini, semakin nyata . . . [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar