Halaman

Minggu, 30 September 2018

tulisan terakhir Séptémber 2018


tulisan terakhir Séptémber 2018

Menulis itu indah di hati. Bisa beda atau berkebalikan dengan hati penyimak. Lihat judul ada yang langsung merasa terusik wibawanya. Tak kurang sebagai perangsang munculnya pengkomen yang klas segitunya. Sisanya, tiba-tiba merasa dirinya lebih mampu menulis.

Karya tulis, atau hasil coretan sebagai bukti tertulis. Menjiplak atau gaya plagiat, di muka hukum bernasib sama. Bisa lebih runyam, karena menyebarluaskan, propaganda berbasis provokasi, bukan asumsi vs bukan fakta.

Lika-liku perjalanan hidup sebagai anak bangsa pribumi, tak akan lepas dari anomali politik. Semakin banyak parpol yang masuk jajaran penguasa, dimungkinkan kran impor menjadi andalan. Udara segar untuk pernafasan asli, bilamana memungkinkan akan diimpor. Mau nafas buatan, tunggu bahan impor, keburu dikubur.

Bangganya generasi Nusantara, urusan laut ada menteri atau setingkat menteri. Militer berkepentingan dengan ketahanan dan kedaulatan laut. Laut Nusantara menjadi sumber pendapatan negara lain.

Menulis yang enak dibaca, direkam atau diendus unsur pidananya, perlu modal nékat. Mirip bondo nékat. Abaikan komen pembaca. Menulis untuk menulis, bukan untuk memancing pendapat makhluk lain.

Di kalangan akademis, katanya, menulis menjadi momok bagi tenaga pengajar. Lebih lincah menjelaskan ilmu di depan klas. Sedemikan hafal dan ngelotoknya. Apalagi yang mendengarkan tiap semester ganti wajah dan telinga. Jangan sampai terjadi model dosen merasa dibutuhkan oleh mahasiswa. Jangan memanfaatkan momentum bahwasanya mahasiswa butuh nilai lulus.

Selamat berakhir bulan sekaligus menyambut datang . . . [HaèN]

mengundang tamu tak diundang


mengundang tamu tak diundang

Rumah tangga tidak sekedar wadah, wahana, fasilitas  fisik keluarga yang merupakan komponen lingkungan hidup. Aneka interaksi rumah tinggal dengan lingkungan, mulai skala Rukun Tetangga, tak terelakkan dengan segala efek, dampaknya.

Modul ini menjadi pola dasar kehidupan bermasyarakat. Tata masyarakat membutuhkan dukungan formal agar kehidupan sesuai dengan standar layak hidup. Lahan yang semula menjadi tempat padi tumbuh, disulap menjadi hunian. Air hujan yang semula bebas meresap ke bumi, menjadi terseleksi.

Teknologi yang dipakai untuk menunjang, memudahkan aktivitas manusia bisa menjadi beban. Sebut saja aturan buang sampah. Teknologi sederhana untuk membuat kompos rumah tangga, terkendala luas pekarangan. Akhirnya, warga mengandalkan bak sampah. Di pihak lain, pemerintah tanggap dengan menerapkan rétribusi.

Akhirnya modus bersih lingkungan, diserahkan ke kekuatan pasar. Pelaku utama yaitu petugas partai kebersihan bisa jual mahal. Bak sampah hanya untuk sampah dapur. Di luar pasal tadi, tidak akan diangkut. Kecuali ada biaya politik.

Tadi memang lagu lama. Kembali ke langgam jadul. Sampah dapur menjadi daya tarik tamu asing alias tikus dan kroninya. Penghuni rumah sibuk pasang perangkap, tebar racun, pasang alat usir tikus elektronik sampai sewa jasa.

Sampah sisa makanan dimasukkan ke kantong plastik. Tunggu masa tunggu, buang ke bak sampah. Di bak sampah, kucing dan musuhnya siap main bongkar buang. Pemulung punya sasaran lain, non-organik. Pengelolaan Sampah agar konstitusional, sudah ada UU-nya.

Jadi selama dapur masih tersedia sampah sisa makanan, bagaimana pun juga ada pasal dan sanksi tegas bagi tikus yang terkena OTT. Tidak mempan kawan. Sesusai pepatah kuno,  ada tidak ada peluang, tikus tetap korup.

Jangan menjadikan tikus ditunjuk sebagai kambing hitam. [HaèN]

memprovokasi azab Allah


memprovokasi azab Allah

Rakyat Nusantara  yang merupakan umat berpancasila, sudah kenyang dengan derita dunia. Penjajahan asing diliwati dengan merdeka. Berganti penjajah bangsa sendiri demi kedaulatan nasional. Gempuran ideologi dan serbuan budaya asing semakin masif. Akhirnya masuk tatanan mengundang orang asing untuk mengatur nasib anak bangsa pribumi.

Kisah nyata ini semakin nyata. 2014-2019, Nusantara di bawah pemimpin nasional pilihan rakyat, pemimpin besar revolusi mental. Tuan paduka yang mengemban tugas negara sebagai petugas partai.

Jika ada dalil keberhasilan pemimpin, kepala atau sebuat lainnya, diukur dengan adanya aduan, keluhan, gerakan masyarakat. Karena pemerintah menguasai atau dikendalikan media massa, maka berita yang ditampilkan bergaya pencitraan, propaganda, pamer prestasi, adu gensi.  

Soal suara rakyat menjadi hak wakil rakyat. Apesnya, wakil rakyat lebih dominan sebagai wakil partai politik. Wakil daerah, tepatnya wakil provinsi menambah dinamika demokrasi.

Akhirnya, sesuai sinyalemen iblis atas penciptaan manusia pertama, Adam, dari tanah. Bahwasanya manusia akan berbuat kerusakan di muka bumi dan saling menumpahkan darah. Pembunuhan karakter menjadi tugas utama penguasa untuk jaga wibawa, bela tuan.

Karena menang suara terbanyak, tak ayal mereka merasa sebagai raja bumi Nisantara. Sampai kondisi éfék domino éra mégatéga. Gaya digagah-gagahkan, menantang pintu langit. Akhirnya ada kelompok manusia lari terkentut-kentut mendengar panggilan Allah swt. Mereka lupa kalau sebagai komunitas anak keturunan ideolgis tuhan, tak perlu lari.

Kembali ke rakyat. Kebal akan bencana politik. Semakin membuat manusia politik lebih yakin diri. Mampu sebagai gembala kambing.  Dukungan dewa air, dewa udara, dewa tanah maupun dewa impor, semakin merasa digdaya. Merasa rakyat akan semakin membutuhkan dirinya, kawanannya.

Acuan utama umat Islam adalah firman-Nya. Simak makna (QS As Sajdah [32]: 21) yaitu: “Dan Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Sebagai bangsa yang cerdas ideologi, sudah bisa membaca peta politik. [HaèN]

Sabtu, 29 September 2018

menulis vs bodoné dipèk dhéwé


menulis vs bodoné dipèk dhéwé

Menulis itu mudah. Sukar karena harus punya ilmu. Sulit karena harus mengantongi jam terbang.  Rumit karena harus bisa berbahasa tulis, bukan bahasa tutur. Takut, takut-takut salah menulis. Ragu kalau tulisannya tak bisa dibaca. Sangsi kalau olahkatanya mengundang kebingungan pembacanya.

Cerdasnya pembaca jika hanya komentar dengan memberi simbol tangan mengacungkan ibu jari . Ciri utama penguna bahasa media sosial. Ingat zaman guru gambar di TVRI, pak Tino Sidin. Setiap gambar yang masuk, ditayangkan, disorot close-up, dikomentari satu kata :”bagus!”. Karena yang kirim kebanyakan anak-anak pra-SD.

Di acara rapat bangsa. “Setuju dengan catatan”, sebagai komentar diplomatis. Pakai model pokrol bambu : “Tidak setuju!, karena tidak sesuai dengan . . . “ Baku kata, basa-basi yang basi, unjuk kata yang masuk kuadran: dia tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Petugas partai saja mahir asbun (asal bunyi). Pokoké mangap, waton njeplak.

Dalil rapat kenegaraan “ngomong ora ngomong, sing penting bayarané podo”.

Kembali ke paradigma gaya wong Melayu, yaitu menulis untuk menulis. Tak pakai embel-embel. Tak perlu bumbu penyedap yang malah merusak pemandangan. Jangan main duga bahwasanya orang lain tak bisa membaca dengan benar dan baik. Ingat cerdas pembaca di atas.

Wong Melayu atau sebagai bangs timur, malu kalau tulisannya sebagai bukti tertulis ketidaktahuannya. Bukan bab benar atau salah. Bukan pasal baik atau buruk. Tidak tahu bukan karena tidak tahu. Rasa jujur lebih dominan. Kalau cuma rasanya tahu, tahu kulitnya saja, lebih elok diam, bungkam, jaga mulut atau tidak menulis. Semoga sudah jelas atas penjelasan ini.

Jawaban “tidak tahu” atas pertanyaan, karena mendasarkan pada ilmu pengetahuan. Pengalaman pun tidak cukup bobot untuk memberikan atau sebagai jawaban pembuka.

Islam menuntun umatnya agar jangan mengatakan yang tidak kau kerjakan. Analog, jangan menulis sesuatu yang tidak kau kerjakan. Untuk menulis ada dispénsasinya. Minimal menulis apa yang kau ketahui, kau saksikan sampai apa yang kau lihat. Mata termasuk sarana membaca.

Tak perlu risau jika tulisan orang lain mempengaruhi gaya tulisan diri sendiri. Anggap sebagai pola merguru. Sebagai jembatan atau kendaraan yang akan mengantarkan kita ke jati diri. Ikut arus sambil minum air. Saatnya, pindah haluan atau punya ragam sendiri. Namanya proses, terkadang harus zig-zag.

Kepengalaman menulis tidak sama bagi setiap orang. Pukul rata berkesimpulan:
Pertama. Dimulai  dari 0 (nol) plus, antara ingin tahu saja sampai ingin tahu banget. Tahap awal ini memang pemula atau start-up bisnis kata. Modal keingintahuan merembet ke tingkat memahami secara umum (knowing). Mencoba membahasa satu tema dari berbagai aspek.

Kedua. Meningkat masuk ke tataran memahami secara mendalam (under-standing). Gagasan akan substansi, materi, pokok bahasan yang akan diolah. Mengandalkan perasaan yang memang masih égo. Berani menuliskannya. Pergulatan batin untuk menemukan judul awal.

Ketiga. Lanjut masuk pada strata yaitu memahami sekaligus  menjiwai, menghayati dan merealisasikannya (realizing). Ingat P4 zaman Orde Baru, ‘pengamalan’ berupa unjuk bahasa tulis, berupa rangkaian kata dan susunan kalimat. Kalimat pembuka sebagai daya pikat. Alenia pertama bisa berisi isi tulisan maupun simpul sederhana. Merangsang rasa keingintahuan, penasaran pembaca.

Bonus kiat. Alenia penutup bisa menjadi sumber inspirasi untuk tulisan berikutnya. Beda tema atau beda aspek. Ini termasuk seninya menulis. Menulis dan menulis, ide akan mengalir dengan sendirinya.

Ikuti lomba esai, karya tulis. Untuk mencari pengalaman. Kirim artikel ke surat kabar. Minimal ke fokus publik, opini pembaca, suara pembaca untuk cek kadar tulisan. Lebih mulia dan bahagia jika punya blogspot pribadi.

Akhir kata tapi bukan kata terakhir. Ayo menulis . . . [HaèN]