menulis
vs bodoné dipèk dhéwé
Menulis
itu mudah. Sukar karena harus punya ilmu. Sulit karena harus mengantongi jam
terbang. Rumit karena harus bisa
berbahasa tulis, bukan bahasa tutur. Takut, takut-takut salah menulis. Ragu
kalau tulisannya tak bisa dibaca. Sangsi kalau olahkatanya mengundang
kebingungan pembacanya.
Cerdasnya
pembaca jika hanya komentar dengan memberi simbol tangan mengacungkan ibu jari
. Ciri utama penguna bahasa media sosial. Ingat zaman guru gambar di TVRI, pak
Tino Sidin. Setiap gambar yang masuk, ditayangkan, disorot close-up, dikomentari satu kata :”bagus!”. Karena yang kirim kebanyakan anak-anak pra-SD.
Di acara
rapat bangsa. “Setuju dengan catatan”, sebagai komentar diplomatis. Pakai model
pokrol bambu : “Tidak setuju!, karena tidak sesuai dengan . . . “ Baku kata,
basa-basi yang basi, unjuk kata yang masuk kuadran: dia tidak tahu bahwa dia
tidak tahu. Petugas partai saja mahir asbun (asal bunyi). Pokoké mangap, waton njeplak.
Dalil
rapat kenegaraan “ngomong ora ngomong, sing penting bayarané podo”.
Kembali
ke paradigma gaya wong Melayu, yaitu menulis untuk menulis. Tak pakai
embel-embel. Tak perlu bumbu penyedap yang malah merusak pemandangan. Jangan
main duga bahwasanya orang lain tak bisa membaca dengan benar dan baik. Ingat
cerdas pembaca di atas.
Wong
Melayu atau sebagai bangs timur, malu kalau tulisannya sebagai bukti tertulis
ketidaktahuannya. Bukan bab benar atau salah. Bukan pasal baik atau buruk.
Tidak tahu bukan karena tidak tahu. Rasa jujur lebih dominan. Kalau cuma
rasanya tahu, tahu kulitnya saja, lebih elok diam, bungkam, jaga mulut atau
tidak menulis. Semoga sudah jelas atas penjelasan ini.
Jawaban
“tidak tahu” atas pertanyaan, karena mendasarkan pada ilmu pengetahuan.
Pengalaman pun tidak cukup bobot untuk memberikan atau sebagai jawaban pembuka.
Islam
menuntun umatnya agar jangan mengatakan yang tidak kau kerjakan. Analog, jangan
menulis sesuatu yang tidak kau kerjakan. Untuk menulis ada dispénsasinya.
Minimal menulis apa yang kau ketahui, kau saksikan sampai apa yang kau lihat.
Mata termasuk sarana membaca.
Tak
perlu risau jika tulisan orang lain mempengaruhi gaya tulisan diri sendiri. Anggap
sebagai pola merguru. Sebagai jembatan atau kendaraan yang akan mengantarkan
kita ke jati diri. Ikut arus sambil minum air. Saatnya, pindah haluan atau
punya ragam sendiri. Namanya proses, terkadang harus zig-zag.
Kepengalaman
menulis tidak sama bagi setiap orang. Pukul rata berkesimpulan:
Pertama. Dimulai dari 0 (nol) plus, antara ingin tahu saja
sampai ingin tahu banget. Tahap awal ini memang pemula atau start-up bisnis kata. Modal keingintahuan merembet ke tingkat
memahami secara umum (knowing). Mencoba membahasa satu tema dari
berbagai aspek.
Kedua. Meningkat masuk ke
tataran memahami secara mendalam (under-standing). Gagasan akan
substansi, materi, pokok bahasan yang akan diolah. Mengandalkan perasaan yang
memang masih égo. Berani menuliskannya. Pergulatan batin untuk menemukan judul
awal.
Ketiga. Lanjut masuk pada
strata yaitu memahami sekaligus menjiwai, menghayati dan merealisasikannya (realizing).
Ingat P4 zaman Orde Baru, ‘pengamalan’ berupa unjuk bahasa tulis, berupa
rangkaian kata dan susunan kalimat. Kalimat pembuka sebagai daya pikat. Alenia pertama
bisa berisi isi tulisan maupun simpul sederhana. Merangsang rasa keingintahuan,
penasaran pembaca.
Bonus
kiat. Alenia penutup bisa menjadi sumber inspirasi untuk tulisan berikutnya. Beda
tema atau beda aspek. Ini termasuk seninya menulis. Menulis dan menulis, ide
akan mengalir dengan sendirinya.
Ikuti
lomba esai, karya tulis. Untuk mencari pengalaman. Kirim artikel ke surat
kabar. Minimal ke fokus publik, opini pembaca, suara pembaca untuk cek kadar
tulisan. Lebih mulia dan bahagia jika punya blogspot pribadi.
Akhir
kata tapi bukan kata terakhir. Ayo menulis . . . [HaèN]