mempertuhankan manusia
vs memanusiakan tuhan
Betapa peduli pemerintah dan atau penguasa tunggal
Orde Baru terhadap olahraga Nusantara, dibuktikan dengan jargon: “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat”.
Ironis binti miris. Lahirnya Orde Baru berkat
Pancasila Sakti. Beda nasib dengan penggali Pancasila. Semua ‘kesaktiannya’
diprètèli secara sistematis. Menu politik ‘nasakom’ menjadi bom waktu. Ideologi komunis tetap menjadi
bahaya laten. Mampu berbaur dengan sistem politik maupun bentukan parpol yang
sudah ada, sedang ada maupun yang akan ada. Merahnya sang dwiwarna merah-putih
semakin mérah.
Praktik tatanan dan tataran sosial-politik-ekonomi
menjadikan klas rakyat, strata penduduk, kasta warga negara semakin terukur.
Stigma pengguna hak politik yang layak diduga bukan dari loatlis penguasa: non
edcucated people. Rakyat sebagai obyek pembangunan berbasis ULN: permanent
underclass. Daya beli, daya belanja keluarga, sesuai dalil BPS: masyarakat
kurang beruntung. Ikhwal ini menentukan kelayakan ULN.
Ketika politik menjadi panglima dan agama bumi.
Kepentingan apapun tidak akan menyatukan anak bangsa pribumi. Memperebutkan mangsa
politik yang sama. Terbukti dengan asas éra mégatéga. Jangan lupa, masih akan
terjadi: wis téga banget lan édan tenan, tetep ora keduman. Politik tetap politik.
Manusia politik, sesuai bahasa politik dan kamus politik, tak ada salahnya. Tak
ada cacatnya.
Lebih beruntung dengan ketauhidan reliji. Nikmat
mana lagi yang akan engkau dustakan. Pola taklid buta serigala berbulu domba,
menjadikan dunia ini bak ladang gembala tanpa batas. Sejarah nabi bisa
dipelintir. Bukan tugas kita untuk meluruskannya. Kembalikan kepada Allah swt.
Aamiin YRA. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar