Halaman

Sabtu, 29 September 2018

menulis vs bodoné dipèk dhéwé


menulis vs bodoné dipèk dhéwé

Menulis itu mudah. Sukar karena harus punya ilmu. Sulit karena harus mengantongi jam terbang.  Rumit karena harus bisa berbahasa tulis, bukan bahasa tutur. Takut, takut-takut salah menulis. Ragu kalau tulisannya tak bisa dibaca. Sangsi kalau olahkatanya mengundang kebingungan pembacanya.

Cerdasnya pembaca jika hanya komentar dengan memberi simbol tangan mengacungkan ibu jari . Ciri utama penguna bahasa media sosial. Ingat zaman guru gambar di TVRI, pak Tino Sidin. Setiap gambar yang masuk, ditayangkan, disorot close-up, dikomentari satu kata :”bagus!”. Karena yang kirim kebanyakan anak-anak pra-SD.

Di acara rapat bangsa. “Setuju dengan catatan”, sebagai komentar diplomatis. Pakai model pokrol bambu : “Tidak setuju!, karena tidak sesuai dengan . . . “ Baku kata, basa-basi yang basi, unjuk kata yang masuk kuadran: dia tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Petugas partai saja mahir asbun (asal bunyi). Pokoké mangap, waton njeplak.

Dalil rapat kenegaraan “ngomong ora ngomong, sing penting bayarané podo”.

Kembali ke paradigma gaya wong Melayu, yaitu menulis untuk menulis. Tak pakai embel-embel. Tak perlu bumbu penyedap yang malah merusak pemandangan. Jangan main duga bahwasanya orang lain tak bisa membaca dengan benar dan baik. Ingat cerdas pembaca di atas.

Wong Melayu atau sebagai bangs timur, malu kalau tulisannya sebagai bukti tertulis ketidaktahuannya. Bukan bab benar atau salah. Bukan pasal baik atau buruk. Tidak tahu bukan karena tidak tahu. Rasa jujur lebih dominan. Kalau cuma rasanya tahu, tahu kulitnya saja, lebih elok diam, bungkam, jaga mulut atau tidak menulis. Semoga sudah jelas atas penjelasan ini.

Jawaban “tidak tahu” atas pertanyaan, karena mendasarkan pada ilmu pengetahuan. Pengalaman pun tidak cukup bobot untuk memberikan atau sebagai jawaban pembuka.

Islam menuntun umatnya agar jangan mengatakan yang tidak kau kerjakan. Analog, jangan menulis sesuatu yang tidak kau kerjakan. Untuk menulis ada dispénsasinya. Minimal menulis apa yang kau ketahui, kau saksikan sampai apa yang kau lihat. Mata termasuk sarana membaca.

Tak perlu risau jika tulisan orang lain mempengaruhi gaya tulisan diri sendiri. Anggap sebagai pola merguru. Sebagai jembatan atau kendaraan yang akan mengantarkan kita ke jati diri. Ikut arus sambil minum air. Saatnya, pindah haluan atau punya ragam sendiri. Namanya proses, terkadang harus zig-zag.

Kepengalaman menulis tidak sama bagi setiap orang. Pukul rata berkesimpulan:
Pertama. Dimulai  dari 0 (nol) plus, antara ingin tahu saja sampai ingin tahu banget. Tahap awal ini memang pemula atau start-up bisnis kata. Modal keingintahuan merembet ke tingkat memahami secara umum (knowing). Mencoba membahasa satu tema dari berbagai aspek.

Kedua. Meningkat masuk ke tataran memahami secara mendalam (under-standing). Gagasan akan substansi, materi, pokok bahasan yang akan diolah. Mengandalkan perasaan yang memang masih égo. Berani menuliskannya. Pergulatan batin untuk menemukan judul awal.

Ketiga. Lanjut masuk pada strata yaitu memahami sekaligus  menjiwai, menghayati dan merealisasikannya (realizing). Ingat P4 zaman Orde Baru, ‘pengamalan’ berupa unjuk bahasa tulis, berupa rangkaian kata dan susunan kalimat. Kalimat pembuka sebagai daya pikat. Alenia pertama bisa berisi isi tulisan maupun simpul sederhana. Merangsang rasa keingintahuan, penasaran pembaca.

Bonus kiat. Alenia penutup bisa menjadi sumber inspirasi untuk tulisan berikutnya. Beda tema atau beda aspek. Ini termasuk seninya menulis. Menulis dan menulis, ide akan mengalir dengan sendirinya.

Ikuti lomba esai, karya tulis. Untuk mencari pengalaman. Kirim artikel ke surat kabar. Minimal ke fokus publik, opini pembaca, suara pembaca untuk cek kadar tulisan. Lebih mulia dan bahagia jika punya blogspot pribadi.

Akhir kata tapi bukan kata terakhir. Ayo menulis . . . [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar