Halaman

Kamis, 06 September 2018

belajar agama mémang harus égois


belajar agama mémang harus égois

Majelis ilmu bakda sholat subuh, tiap sabtu dan ahad, di masjid lingkungan tempat tinggal. Jamaah subuh yang lanjut duduk manis. Sebagian besar pilih bersandar santai. Pasang telinga, sambil istirahatkan mata. Bukan karena lanjut usia.

Terkadang ustadz langganan yang bawakan acara, sesekali menyindir jamaah yang tampak manggut-manggut. Tanda menyerap ilmunya.

Seleksi alam, jangan heran jika sedekah yang mereka masukkan ke kotak amal yang beredar. Diumumkan di hari jumat, jumlahnya bisa sekitar 40% uang masuk jumatan. Padahal, dua lantai masjid plus halaman penuh jamaah jumat.

Tak salah jika pengurus masjid dalam pasal memakmurkan masjid. Menyediakan santap siang ringan usai jumatan. Sebagai pendaya tarik jamaah. Hasilnya, anak yang belum wajib sholat, sibuk ikut berebut dengan remaja tanggung. Salam kedua imam, bak aba-aba.

Bagi bapak-bapak yang ingin menikmati menu siang, masuk ke ruang sekretariat.

Karena waktu sholat, tak heran jelang syuruq jamaah resah. Terang tanah membuat wajah gelisah. Bukan mau cicipi the hangat dan makanan ringan.

Acara tanya jawab. Saya termasuk yang rajin bertanya. Pengalaman bertanya menjadi dasar tulisan ini. sepertiya jamaah komplain, pertanyaan saya terlalu sederhana. Mereka merasa sudah tahu. Bisa menebak jawaban sang ustadz dan penjelasannya.

Tanya jawab berlanjut di serambi masjid. Sambil seruput teh hangat dan kunyah kue atau gorengan. Ustadz membuka mimbar bebas. Ternyata ada beberapa jamaah yang memanfaatkan peluang. Ajak diskusi. Sampaikan ikhwal tertentu dengan yakin. Lebih lama dari waktu ceramah.

Ke pihak yang kritis, saya bilang momen sebagai belajar agama. Jauh dengan kadar di sekolah atau kampus agama. Apa yang saya butuhkan, saya tanyakan. Memang sederhana, sepele.

Terhibur, ternyata ada jamaah yang bilang. Pertanyaan saya memang sederhana, tetapi itu sebagai hal nyata. Mereka yang sekolah agama, malah tak sampai berpikir demikian. Terbiasa melihat, menerawang menembus batas waktu dan sekat ruang.

Bertanya untuk memantapkan langkah. Modal diri. Tingkatkan kapasitas diri. Perkecil ‘kesalahan’ atau hindari dari masalah yang masuk daerah abu-abu.

Karena waktu dan tempat, tidak saya uraikan apa saja yang pernah saya tanyakan. Jangan lupa. Ingin praktik agama sesuai status diri. Di mulai di rumah tangga, keluarga, lanjut di lingkungan tempat tinggal. Ada adab, rukun, syariatnya. Sederhana. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar