belajar agama mémang
harus égois
Majelis ilmu bakda sholat subuh, tiap sabtu dan
ahad, di masjid lingkungan tempat tinggal. Jamaah subuh yang lanjut duduk
manis. Sebagian besar pilih bersandar santai. Pasang telinga, sambil
istirahatkan mata. Bukan karena lanjut usia.
Terkadang ustadz langganan yang bawakan acara,
sesekali menyindir jamaah yang tampak manggut-manggut. Tanda menyerap ilmunya.
Seleksi alam, jangan heran jika sedekah yang mereka
masukkan ke kotak amal yang beredar. Diumumkan di hari jumat, jumlahnya bisa
sekitar 40% uang masuk jumatan. Padahal, dua lantai masjid plus halaman penuh
jamaah jumat.
Tak salah jika pengurus masjid dalam pasal
memakmurkan masjid. Menyediakan santap siang ringan usai jumatan. Sebagai pendaya
tarik jamaah. Hasilnya, anak yang belum wajib sholat, sibuk ikut berebut dengan
remaja tanggung. Salam kedua imam, bak aba-aba.
Bagi bapak-bapak yang ingin menikmati menu siang,
masuk ke ruang sekretariat.
Karena waktu sholat, tak heran jelang syuruq jamaah
resah. Terang tanah membuat wajah gelisah. Bukan mau cicipi the hangat dan
makanan ringan.
Acara tanya jawab. Saya termasuk yang rajin
bertanya. Pengalaman bertanya menjadi dasar tulisan ini. sepertiya jamaah komplain,
pertanyaan saya terlalu sederhana. Mereka merasa sudah tahu. Bisa menebak
jawaban sang ustadz dan penjelasannya.
Tanya jawab berlanjut di serambi masjid. Sambil seruput
teh hangat dan kunyah kue atau gorengan. Ustadz membuka mimbar bebas. Ternyata ada
beberapa jamaah yang memanfaatkan peluang. Ajak diskusi. Sampaikan ikhwal
tertentu dengan yakin. Lebih lama dari waktu ceramah.
Ke pihak yang kritis, saya bilang momen sebagai
belajar agama. Jauh dengan kadar di sekolah atau kampus agama. Apa yang saya
butuhkan, saya tanyakan. Memang sederhana, sepele.
Terhibur, ternyata ada jamaah yang bilang. Pertanyaan
saya memang sederhana, tetapi itu sebagai hal nyata. Mereka yang sekolah agama,
malah tak sampai berpikir demikian. Terbiasa melihat, menerawang menembus batas
waktu dan sekat ruang.
Bertanya untuk memantapkan langkah. Modal diri. Tingkatkan
kapasitas diri. Perkecil ‘kesalahan’ atau hindari dari masalah yang masuk
daerah abu-abu.
Karena waktu dan tempat, tidak saya uraikan apa
saja yang pernah saya tanyakan. Jangan lupa. Ingin praktik agama sesuai status
diri. Di mulai di rumah tangga, keluarga, lanjut di lingkungan tempat tinggal. Ada
adab, rukun, syariatnya. Sederhana. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar