cerdas korup, parpol
tempat berguru
Lepas dari fakta, pihak mana atau siapa saja pelaku
korup di Nusantara. Tak salah, kalau petugas partai atau manusia politik
mendominasinya. Dasar negara Pancasila seolah memberi peluang peseteruan Buaya
vs Cicak, tetap marak antar periode pemerintah.
Tanpa mengusik keasyikan buaya yang sedang jemur
gigi. Serpihan rahasia umum betapa perilaku korup memang sudah terbentuk sejak
zaman penjajahan. Anak bangsa pribumi, bumipitera, putra-putra asli daerah,
merasa tak berdosa jika melestarikan budaya korup.
“Ada uang ada tikus berdasi”, menjadi salah satu
slogan, semboyan dukungan formal aparat penegah hukum, hamba hukum. Kan sudah
ada episode Buaya vs Cicak. Bermain Rp, siap menerima segala resiko. Semakin dekat
dengan sumber Rp, semakin berpeluang kecipratan.
Sedekat ini, biaya politik dianggap pemacu, pemicu
budaya korup. Pola lama, jabatan basah identik dengan peluang korup lebih luas
dan leluasa. Semakin tinggi kuasa, wewenang, hak maka Rp akan mengalir datang. Duduk
manis, aliran dana terduga sudah bisa diduga nominalnya. Rumusan ekonomi-politik:
1 Pas : 3 Cukup : 7 Kurang. Sudah kedaluwarsa. Model babat habis, tanpa ampas.
Namun apa daya kalau cuma satu daya. Jangan sekali
keruk habis. Agar tampak berklas, ikuti mainan dan aturan main setiap periode. Jaga
jarak aman. Pasang pagar pengaman yang tak terdeteksi KPK. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar