politisasi
ulama Nusantara, batu pijakan vs baru sandungan
Adab persatuan Indonesia, nyaris
tidak terasa kalau ada entitas yang rasa-rasanya berfungsi menjembatani rakyat
dengan penguasa. Pemerintah sensitif, peka dengan gejolak berbasis SARA. Tak
perlu mikir, langsung dihajar jurus
sakti: pasal makar, anti-Pancasila, melecehkan wibawa negara, tindak laku tidak
menyenangkan petugas partai.
Suara hati rakyat, bernasib
sebaliknya. Kaki gepeng terinjak, pemerintah tetap tak bergeming. Radar tak
mampu mendeteksi suara akar rumput. Terlalu banyak filter, penyaring, penapis,
lembaga sensor yang memilah dan memilih suara rakyat.
Bukan salah fenomena terjadi strata
sosial, klas masyarakat, kasta penduduk, kategori keluarga, rumah tangga atau
klasifikasi warga negara. Namanya ‘rakyat’, menjadi ‘beban mati’ setiap
pemerintahan. Pasca Ramadhan 1439H, pelayaran rakyat menjadi sumber berita dan
derita. Tanggung rèntèng bergulir.
Semboyan pro-rakyat semakin
membuktikan fakta sebaliknya. Rakyat bisa dimarginalkan demi kepentingan
penguasa. Di lokasi yang seolah tak bertuan atau yang mana dimana pengusaha
menjadi penguasa setempat. Hukum rimba berlaku total kopral. Bersaing atau
bersinergi dengan pemerintah bayangan ala dinasti politik. Bisa terjadi di ibu
kota negara.
Hubungan diplomatik antara
pemerintah pusat dengan pemerintah provisi, yuridis formal bahwa gubernur
sebagai perpanjanga tangan pemerintah. Bukan sekedar tukang teken, mengangguk
tanda setuju. Bahkan usulan daerah tanpa meliwati gubernur, tak akan direken,
digubris.
Lepas dari ikhwal di atas. Tidak pakai
cara analog. Nyatanya, gubernur pilihan rakyat malah merasa bagian integral
dari pusat. Istilah kunonya, apapun kinerja gubernur demi rakyatnya, yang kuasa
tentukan nilai rapor adalah kepala negara. Kasus ini menjadikan bahwa menu
politik semakin jauh dari kebutuhan dasar rakyat.
Praktik nyata sila pertama
Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadikan banyak pihak merasa berkepentingan.
UUD NRI 1945 dengan Perubahan, sebagai wujud loyalitas, mengakomodir atau
menterjemahkan skenario, konspirasi dari investor politik.
Politik memang serba ironis binti
miris. Kehidupan masyarakat adem ayem, malah membuat penguasa gerah luar dalam.
Jika ada gesekan horizontal antar kelompok masyarakat, menjadikan ajang uji
nyali dan ujian jabatan aparat penegak hukum.
Tata kehidupan yang mapan, malah
dicurigai. Jangan-jangan ada gerakan senyap anti-kemapanan versi Orde Baru.
Orang berkumpul sarungan karena dingin, layak diwaspadai. Arisan ibu-ibu
berkerudung, berjilbab lintas RW, disinyalir akan membuka rahasia dapur tetangga.
Gerakan aksi komunitas dengan identitas koko plus kopiah, disinyalir ada
dalangnya.
Agaknya hukum harus selalu diasah,
agar tidak mandul, tumpul. Hukum harus selalu dipraktikkan setiap saat agar tak
cepat berkarat. Obyek hukum tinggal pilah dan pilih. Hukum bicara bukan karena
pasal dilanggar tetapi siapa yang berperkara. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar