Halaman

Kamis, 13 September 2018

politisasi ulama Nusantara, batu pijakan vs baru sandungan


politisasi ulama Nusantara, batu pijakan vs baru sandungan

Adab persatuan Indonesia, nyaris tidak terasa kalau ada entitas yang rasa-rasanya berfungsi menjembatani rakyat dengan penguasa. Pemerintah sensitif, peka dengan gejolak berbasis SARA. Tak perlu mikir, langsung dihajar jurus sakti: pasal makar, anti-Pancasila, melecehkan wibawa negara, tindak laku tidak menyenangkan petugas partai.

Suara hati rakyat, bernasib sebaliknya. Kaki gepeng terinjak, pemerintah tetap tak bergeming. Radar tak mampu mendeteksi suara akar rumput. Terlalu banyak filter, penyaring, penapis, lembaga sensor yang memilah dan memilih suara rakyat.

Bukan salah fenomena terjadi strata sosial, klas masyarakat, kasta penduduk, kategori keluarga, rumah tangga atau klasifikasi warga negara. Namanya ‘rakyat’, menjadi ‘beban mati’ setiap pemerintahan. Pasca Ramadhan 1439H, pelayaran rakyat menjadi sumber berita dan derita. Tanggung rèntèng bergulir.

Semboyan pro-rakyat semakin membuktikan fakta sebaliknya. Rakyat bisa dimarginalkan demi kepentingan penguasa. Di lokasi yang seolah tak bertuan atau yang mana dimana pengusaha menjadi penguasa setempat. Hukum rimba berlaku total kopral. Bersaing atau bersinergi dengan pemerintah bayangan ala dinasti politik. Bisa terjadi di ibu kota negara.

Hubungan diplomatik antara pemerintah pusat dengan pemerintah provisi, yuridis formal bahwa gubernur sebagai perpanjanga tangan pemerintah. Bukan sekedar tukang teken, mengangguk tanda setuju. Bahkan usulan daerah tanpa meliwati gubernur, tak akan direken, digubris.

Lepas dari ikhwal di atas. Tidak pakai cara analog. Nyatanya, gubernur pilihan rakyat malah merasa bagian integral dari pusat. Istilah kunonya, apapun kinerja gubernur demi rakyatnya, yang kuasa tentukan nilai rapor adalah kepala negara. Kasus ini menjadikan bahwa menu politik semakin jauh dari kebutuhan dasar rakyat.

Praktik nyata sila pertama Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadikan banyak pihak merasa berkepentingan. UUD NRI 1945 dengan Perubahan, sebagai wujud loyalitas, mengakomodir atau menterjemahkan skenario, konspirasi dari investor politik.

Politik memang serba ironis binti miris. Kehidupan masyarakat adem ayem, malah membuat penguasa gerah luar dalam. Jika ada gesekan horizontal antar kelompok masyarakat, menjadikan ajang uji nyali dan ujian jabatan aparat penegak hukum.

Tata kehidupan yang mapan, malah dicurigai. Jangan-jangan ada gerakan senyap anti-kemapanan versi Orde Baru. Orang berkumpul sarungan karena dingin, layak diwaspadai. Arisan ibu-ibu berkerudung, berjilbab lintas RW, disinyalir akan membuka rahasia dapur tetangga. Gerakan aksi komunitas dengan identitas koko plus kopiah, disinyalir ada dalangnya.

Agaknya hukum harus selalu diasah, agar tidak mandul, tumpul. Hukum harus selalu dipraktikkan setiap saat agar tak cepat berkarat. Obyek hukum tinggal pilah dan pilih. Hukum bicara bukan karena pasal dilanggar tetapi siapa yang berperkara. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar