efektivitas pengawasan,
sistem penganggaran vs peluang korup
Hukum moralitas ekonomi jauh abad sudah mematok. Barangsiapa
pegang uang, karena profesi, mudah tergiur. Awalnya, bisa kendali diri. Lama-lama
karena pengaruh lingkungan, merasa tak ada kendala berarti. Merasa tak ada sorot
mata pengawas.
Cerita anak bandel. Disuruh belanja ke warung. Uang
kembalian tidak dikembalikan utuh. Masih cerdas, kalau ambil kesempatan beli
permen. Permen pernah marak di acara berkabung, melayat. Kasir di toko serba
ada atau sebutan keren lainnya, pernah menggunakan jasa permen sebagai uang
kembalian. Pengganti 25 Rp.
Beda kisah, beda cerita. Uang masuk melalui
tabungan. Bunganya menjadi hak milik pemilik nomor rekeninag. Kalau uang
perusahaan, termasuk partai politik perusahaan trah keluarga, bendahara sibuk
senyum simpul. Kesimpulan terserah pembaca. Model jadul, hitung uang dibantu
ludah di ujung lidah, bertengger di bibir.
Makanya, air liur meleleh, bahkan mengucur, melihat
tumpukan gepokan uang kertas. Karena ada “pengawas” tak mungkin main tilep. Main
kutip.
Meningkat ke uang negara. Memakai istilah anggaran.
Berlaku muali daerah kabupaten/kota, daerah provinsi sampai tingkat nasional. Aneka
kejadian perkara melatarbelakangi kisah kasus anggaran. Mulai kisah kompromi politik
antar pihak yang beda kepentingan untuk menetapkan kecilnya anggaran.
Produk hukum sedemikian rinci, detil, njlimet bin
mumet, menjelaskan bagaimana tata cara menggunakan anggaran. Mempertanggungjawabkan
pemanfaatan anggaran sesuai rencana serta hasil nyata sebagai bukti. Diperkuat pola
pengawasan oleh pihak yang steril dari kepentingan jenis apapun.
Pepatah, peribahasa kuno berujar: “ada gula ada
tikus”.
Tikus politik yang mempunyai hak anggaran. Dipastikan
secara wajar sedikitnya kecipratan Rp. Sebagai uang lelah. Lepas dari tugas,
fungsi dan wewenangnya. Karena untuk menduduki kursi politik, bukan diraihnya
dengan gratis. Sebut saja biaya politik,
mahar politik, politik bagi hasil dan sejenisnya. Hanya pelaku yang tahu persis
praktiknya. Tidak ada ilmu atau teorinya.
Bagiamana menghabiskan anggaran dalam satu tahun
anggaran. Sebagai bukti krédibiitas pengguna anggaraan. Di awal tata niaga
penganggaran, dimulai dengan pasal “memancing uang harus dengan umpan uang”.
Munculnya program/kegiatan perlu dukungan diplomasi
uang. Diplomasi atau kesepakatan politis, tak akan berjalan tanpa dukungan asas
sama-sama diuntungkan. Tidak ada pihak yang merasa dirugikan sepeser pun.
Serakah dan syahwat (politik) mengisyaratkan,
silahkan main untung asal aman. Mau mencuwil bahan baku kue nasional, silahkan
dengan tertib. Jangan berebut. Antri dengan manis.
Pihak yang merasa modal belum impas, silahkan main
keruk. Resiko ditanggung sendiri. Partai siap memecatnya jika terbukti
bersalah. Peluang membuat jasa atau berbakti kepada partai, terbuka luas. Namanya
kalkulasi politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar