Halaman

Jumat, 07 September 2018

efektivitas pengawasan, sistem penganggaran vs peluang korup


efektivitas pengawasan, sistem penganggaran vs peluang korup

Hukum moralitas ekonomi jauh abad sudah mematok. Barangsiapa pegang uang, karena profesi, mudah tergiur. Awalnya, bisa kendali diri. Lama-lama karena pengaruh lingkungan, merasa tak ada kendala berarti. Merasa tak ada sorot mata pengawas.

Cerita anak bandel. Disuruh belanja ke warung. Uang kembalian tidak dikembalikan utuh. Masih cerdas, kalau ambil kesempatan beli permen. Permen pernah marak di acara berkabung, melayat. Kasir di toko serba ada atau sebutan keren lainnya, pernah menggunakan jasa permen sebagai uang kembalian. Pengganti 25 Rp.

Beda kisah, beda cerita. Uang masuk melalui tabungan. Bunganya menjadi hak milik pemilik nomor rekeninag. Kalau uang perusahaan, termasuk partai politik perusahaan trah keluarga, bendahara sibuk senyum simpul. Kesimpulan terserah pembaca. Model jadul, hitung uang dibantu ludah di ujung lidah, bertengger di bibir.

Makanya, air liur meleleh, bahkan mengucur, melihat tumpukan gepokan uang kertas. Karena ada “pengawas” tak mungkin main tilep. Main kutip.

Meningkat ke uang negara. Memakai istilah anggaran. Berlaku muali daerah kabupaten/kota, daerah provinsi sampai tingkat nasional. Aneka kejadian perkara melatarbelakangi kisah kasus anggaran. Mulai kisah kompromi politik antar pihak yang beda kepentingan untuk menetapkan kecilnya anggaran.

Produk hukum sedemikian rinci, detil, njlimet bin mumet, menjelaskan bagaimana tata cara menggunakan anggaran. Mempertanggungjawabkan pemanfaatan anggaran sesuai rencana serta hasil nyata sebagai bukti. Diperkuat pola pengawasan oleh pihak yang steril dari kepentingan jenis apapun.

Pepatah, peribahasa kuno berujar: “ada gula ada tikus”.

Tikus politik yang mempunyai hak anggaran. Dipastikan secara wajar sedikitnya kecipratan Rp. Sebagai uang lelah. Lepas dari tugas, fungsi dan wewenangnya. Karena untuk menduduki kursi politik, bukan diraihnya dengan gratis.  Sebut saja biaya politik, mahar politik, politik bagi hasil dan sejenisnya. Hanya pelaku yang tahu persis praktiknya. Tidak ada ilmu atau teorinya.

Bagiamana menghabiskan anggaran dalam satu tahun anggaran. Sebagai bukti krédibiitas pengguna anggaraan. Di awal tata niaga penganggaran, dimulai dengan pasal “memancing uang harus dengan umpan uang”.

Munculnya program/kegiatan perlu dukungan diplomasi uang. Diplomasi atau kesepakatan politis, tak akan berjalan tanpa dukungan asas sama-sama diuntungkan. Tidak ada pihak yang merasa dirugikan sepeser pun.

Serakah dan syahwat (politik) mengisyaratkan, silahkan main untung asal aman. Mau mencuwil bahan baku kue nasional, silahkan dengan tertib. Jangan berebut. Antri dengan manis.

Pihak yang merasa modal belum impas, silahkan main keruk. Resiko ditanggung sendiri. Partai siap memecatnya jika terbukti bersalah. Peluang membuat jasa atau berbakti kepada partai, terbuka luas. Namanya kalkulasi politik. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar