menulis, cara sederhana
mewujudkan rasa jujur diri
Tidak ada patokan dasar untuk
menulis. Semakin acap menulis, bukannya makin lancar. Jangan berharap meraih
predikat ahli menulis. Hati dan pikiran diajak membolakbalikkan kalimat,
semakin kritis. Semakin selera akan kalimat masuk kadar gengsi.
Menggunakan kalimat baku, standar
dirasakan belum ‘bunyi’. Walau tak dapat disangkal kalimat: ‘ini ibu Budi’ masih enak dicerna. Budaya
masih menerima dengan kedua tangan terbuka. Perjalanan rasa menyebabkan kita
menjadi peka, peduli atau malah sensitif tanpa ada pasal duduk perkaranya. Menghadapi
pertanyaan orang lain “mau kemana?” dan atau “darimana?” terasa menyebalkan
telinga dan menyesakkan lidah.
Menghasilkan kalimat yang ‘bunyi’,
tampak sederhana karena nyaman di mata maupun sedap di telinga, melalui
proses yang tidak sederhana. Artinya, melakukan proses tumpang sari, tumpang
tindah antara beberapa kalimat beda ragam.
Bunyi-bunyian atau teriakan pedagang
keliling, menjadi ciri jualan atau kehadirannya. Nyaris seragam antar daerah. Jika
muncul kuliner anyar, harus cerdas menjajakannya. Keunikan promo menentukan
laris manis.
Tahu sejarah perkalimatan untuk
memprediksi kalimat masa depan. Akankah kadar akademis menentukan cakap
berkalimat. Apakah sadar reliji mengasah mahir berkalimat. Atau sebaliknya.
Tak perlu merasa rendah diri. Cakap berkalimat
tulis tak ada hubungan diplomatik dengan cakap berkalimat tutur. Ternyata,
nyatanya, nyata-nyata peradaban diri dimulai dari bibit, modal, saham jujur. Menyimak
hakikat lema ‘jujur’ dari kamus kehidupan, cari cara mendeteksinya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar