Halaman

Selasa, 04 September 2018

menulis, cara sederhana mewujudkan rasa jujur diri


menulis, cara sederhana mewujudkan rasa jujur diri

Tidak ada patokan dasar untuk menulis. Semakin acap menulis, bukannya makin lancar. Jangan berharap meraih predikat ahli menulis. Hati dan pikiran diajak membolakbalikkan kalimat, semakin kritis. Semakin selera akan kalimat masuk kadar gengsi.

Menggunakan kalimat baku, standar dirasakan belum ‘bunyi’. Walau tak dapat disangkal kalimat: ‘ini ibu Budi’ masih enak dicerna. Budaya masih menerima dengan kedua tangan terbuka. Perjalanan rasa menyebabkan kita menjadi peka, peduli atau malah sensitif tanpa ada pasal duduk perkaranya. Menghadapi pertanyaan orang lain “mau kemana?” dan atau “darimana?” terasa menyebalkan telinga dan menyesakkan lidah.

Menghasilkan kalimat yang ‘bunyi’, tampak sederhana karena  nyaman  di mata maupun sedap di telinga, melalui proses yang tidak sederhana. Artinya, melakukan proses tumpang sari, tumpang tindah antara beberapa kalimat beda ragam.

Bunyi-bunyian atau teriakan pedagang keliling, menjadi ciri jualan atau kehadirannya. Nyaris seragam antar daerah. Jika muncul kuliner anyar, harus cerdas menjajakannya. Keunikan promo menentukan laris manis.

Tahu sejarah perkalimatan untuk memprediksi kalimat masa depan. Akankah kadar akademis menentukan cakap berkalimat. Apakah sadar reliji mengasah mahir berkalimat. Atau sebaliknya.

Tak perlu merasa rendah diri. Cakap berkalimat tulis tak ada hubungan diplomatik dengan cakap berkalimat tutur. Ternyata, nyatanya, nyata-nyata peradaban diri dimulai dari bibit, modal, saham jujur. Menyimak hakikat lema ‘jujur’ dari kamus kehidupan, cari cara mendeteksinya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar