Halaman

Selasa, 11 September 2018

pendidikan politik Nusantara, daya dong rendah vs telat mikir


pendidikan politik Nusantara, daya dong rendah vs telat mikir

Acuan nyata dan masih segar. Penyelenggara negara tak perlu main uang rakyat, namun aliran uang ke kantong tetap deras. Tak perlu pusing mengotak-atik APBD, bagi pejabat daerah.

Cerdas politik, membutuhkan kejelian membaca peluang. Tidak perlu jadi petarung politik. Bebas biaya politik. Cukup siapkan, sediakan, siagakan diri – tidak perlu mikir – total melaksanakan skenario politik. Tak heran, jika ada stigma petugas partai bagi oknum kepala negara, presiden 2014-2019.

Doeloe, stigma sesuai judul, hanya diterapkan pada wong ndéso klutuk, rakyat jelata, masyarakat udik. Mereka bahkan tak sempat mencium bau bangku sekolah. Tapi telapak kaki akrab dengan tanah.

Peradaban berkemajuan melanda saraf dan syahwat politik kaum pribumi, bumiputera. Hukum rimba berlaku santai. Semakin jauh dari praktik Pancasila, berbanding lurus dengan peningkatan stigma sesuai judul.

Rakyat tetap diposisikan sesuai derajat kemanusiaan. Muncul stigma terbarukan dan resmi kenegaraan. Pembaca lebih dong daripada saya. Ora perlu mikir sing néko-néko.

Walhasil, daya pikir politik atau daya fantasi, imajinasi, angan-angan manusia politik melaju jauh melampaui potensi diri. Hidup di fatamorgana politik, tapi merasa nyaman. Ora dong yèn dadi bonéka politik. Diperkuat dengan tempurung demokrasi sebagai hiasan belaka. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar