Halaman

Kamis, 13 September 2018

éfék domino maksiat politik


éfék domino maksiat politik

Memangnya ada? Tidak ada teori, angan-angan, analisa bahkan fakta sejarahnya. Setiap pembaca berhak mengartikan maksiat dari aspek, dimensi reliji maupun tatanan moral adat sekaligus mentafsirkan apa itu politik. Secara kasatmata tak ada benang merahnya.

Apalagi sejauh mata memandang, pemerintah maupun wakil rakyatnya belum menetapkan apa itu kejahatan politik, intimidasi politik, dékadénsi moral politik. Kendati bangsa ini akrab, ramah, solidaritas bencana politik, itu pasal lain.

Yang perlu diingat dalam rekam jejak diri. Pelaku politik itu orang baik-baik. Dari keluarga baik-baik. Sehat jasmani dan rohani. Tidak pernah berurusan dengan masalah hukum dunia. Memiliki ijazah pendidikan formal rata-rata nasional.

Jadi, belum kesimpulan. Mana mungkin kehadiran manusia politik dalam periodenya, malah meresahkan. Amal yang mereka perbuat sesuai kebijakan partai. Tuntutan jabatan kursi, jabatan politik, perintah atasan hanya sebagai pengingat diri akan pasal hak dan wewenang.

Sedikit luangkan waktu membeda lema ‘maksiat’. Lihat yang sudah dikenal di masyarakat Pancasila. Budaya asing peninggalan penjajah masih merasuk dan mengendap di lubuk hati anak bangsa pribumi, bumiputera, putra-putri terbaik aseli daerah. Dikenal dengan istilah mo limo atau 5M. Dimungkinan di tubuh internal (partai) politik merebak dan marak pola 5M utawa mo limo.

Menu dan sajian ‘dosa politik’ yang muncul di media massa dengan aneka rasa, warna, pengawet. Rakyat cukup geleng kepala tanda maklum.

Benang merah kolaborasi mental bangsa terjajah dengan menu politik periode 2014-2019, adanya misi terselubung dengan sistem gaya zionis. Umat beragama tauhid, tak perlu murtad. Namun dengan setia, loyal, patuh menjalankan ajaran mereka. Iming-imingnya tak sekedar urusan perut, isi perut. Bisa sampai tagihan kebutuhan bawah perut. Nikmat dunia tersaji di depan mata dengan anéka réka dan daya penuh gaya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar