éfék domino maksiat
politik
Memangnya ada? Tidak ada teori, angan-angan,
analisa bahkan fakta sejarahnya. Setiap pembaca berhak mengartikan maksiat dari
aspek, dimensi reliji maupun tatanan moral adat sekaligus mentafsirkan apa itu
politik. Secara kasatmata tak ada benang merahnya.
Apalagi sejauh mata memandang, pemerintah maupun
wakil rakyatnya belum menetapkan apa itu kejahatan politik, intimidasi politik,
dékadénsi moral politik. Kendati bangsa ini akrab, ramah, solidaritas bencana
politik, itu pasal lain.
Yang perlu diingat dalam rekam jejak diri. Pelaku politik
itu orang baik-baik. Dari keluarga baik-baik. Sehat jasmani dan rohani. Tidak pernah
berurusan dengan masalah hukum dunia. Memiliki ijazah pendidikan formal
rata-rata nasional.
Jadi, belum kesimpulan. Mana mungkin kehadiran
manusia politik dalam periodenya, malah meresahkan. Amal yang mereka perbuat
sesuai kebijakan partai. Tuntutan jabatan kursi, jabatan politik, perintah
atasan hanya sebagai pengingat diri akan pasal hak dan wewenang.
Sedikit luangkan waktu membeda lema ‘maksiat’. Lihat
yang sudah dikenal di masyarakat Pancasila. Budaya asing peninggalan penjajah
masih merasuk dan mengendap di lubuk hati anak bangsa pribumi, bumiputera,
putra-putri terbaik aseli daerah. Dikenal dengan istilah mo limo atau 5M. Dimungkinan di tubuh internal (partai) politik merebak dan marak
pola 5M utawa mo limo.
Menu dan sajian ‘dosa politik’ yang muncul di media
massa dengan aneka rasa, warna, pengawet. Rakyat cukup geleng kepala tanda
maklum.
Benang merah kolaborasi mental bangsa terjajah
dengan menu politik periode 2014-2019, adanya misi terselubung dengan sistem
gaya zionis. Umat beragama tauhid, tak perlu murtad. Namun dengan setia, loyal,
patuh menjalankan ajaran mereka. Iming-imingnya tak sekedar urusan perut, isi
perut. Bisa sampai tagihan kebutuhan bawah perut. Nikmat dunia tersaji di depan
mata dengan anéka réka dan daya penuh gaya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar