karakteristik generasi
Nusantara, silau masa lampau vs alérgi masa depan
Modus generasi reformasi, dengan
atraksi spektakulernya. Merasa wajib jadi berita. Menjadi pesohor. Dengan modal
tulisan pamer bego di media sosial. Penulis buktikan di facebook.
Ketika negara sibuk kebobolan
privasi data warga negaranya, maka dengan tenang generasi yang bebas
berkeliaran di NKRI, malah umbar ujaran tertulis. Aneka bentuk nyata anak
bangsa pribumi berkebutuhan khusus dibeberkan dengan jujur.
Generasi muda tak perlu merasa
risau. Karena di dunia nyata, masih ada generasi pasca generasi muda, yang
bahasa tulisnya menunjukkan isi perut. Otomatis. Tidak mengalami proses oleh
hati, olah rasa. Apa yang terlintas di otak, akal, nalar, logikanya, langsung
diomongkan, dibunyikan, dicetuskan, diujarkan atau ditulis dengan ringannya.
Wajar, semua ini karena
ada daya dan gaya self-destructive yang seolah hak milik generasi
gojag-gajeg. Ramuan politik versi
2014-2019, menjadikan otak politik anak bangsa terkikis sebelum waktunya. Méntalitas
2014-2019: Kerugian Negara vs Degradasi Generasi vs Keuntungan Partai.
Betapa aib pluis nistanya
karena ada generasi muda – tapi cepat matang nafsu syahwatnya – yang antipati
dengan istilah ‘pribumi’. Dengan cerdasnya ybs berdalih sebagai bentuk
diskriminasi atau zaman now masuk kategori politik identitas.
Namanya generasi
pewaris masa depan, jelas kalau tidak masuk sistem, akan termajinalkan secara
menerus. Jangankan generasi pewaris masa depan, generasi usia senja merasa
kurang pédé. Merasa tak eksis
jika tak merapat ke kaki penguasa.
Tidak salah kalau
pemerintah lebih peduli pada penyiapan generasi masa depan yang siap estafet
kepemimpinan nasional. Diutamakan penyiapan generasi masa depan berbasis politik
kekuasaan.
Wajar, muncul
generasi yang dengan sengaja memperkeruh suasana. Sekalian jadi sama-sama
kacau. Daripada berharap tanpa kejelasan. Ibarat burung pungguk merindukan
bulan.
Apakah karena
secara nasional, partai politik kurang mampu menyiapkan calon pemimpin
nasional, sehingga mereka tidak peka, kurang peduli, dan malas tanggap terhadap
gerakan nyata menyiapkan generasi masa depan. Karena tidak masuk ranah politik,
tidak bergengsi secara politis, tidak mendongkrak citra diri, atau kalau
terpaksa melakukan, hanya sekedar basa-basi, seremonial. Takut karir politiknya
ternoda, terhambat maupun nilai jualnya merosot tajam, minimal mengganggu daya
juang dan kinerja insting politiknya.
Ancaman,
tantangan, hambatan dan gangguan terhadap perjalanan hidup generasi masa depan
sudah sedemikian sistematis, terukur dan dinamis. Kekerasan seksual yang
menimpa anak, remaja atau cikal bakal generasi penerus masa depan bangsa,
ibarat menghancurkan benih yang sedang tunas. Faktor penyebab tindak kekerasan
seksual atau bagian dari penyakit masyarakat, tidak bersifat individual. Bedanya,
karena ada tindakan yang legal, resmi, sesuai kebijakan lokal, tidak merugikan
negara, berdaya tarik ekonomi sehingga malah perlu dilestarikan.
Secara historis,
kearifan lokal (local wisdom, local knowledge, local genius) yang mengusung
jati diri sila-sila Pancasila. Daya serap anak bangsa akan pendidikan politik
yang dipamerkan oleh manusia yang sedang naik daun, ternyata jauh di luar
prakiraan awal. Generasi lebih menyukai dengan daya guna, daya manfaat waktu
formal.
Tak salah kawan,
ada korelasi langsung, positif, nyata, terukur antara modus pemerintah dalam
periodenya dengan karakter generasi penerus bangsa. Kendati, dengan catatan
bahwa korelasi dimaksud, termasuk kategori korban pasif.
Tampilnya generasi
muda sudah keharusan sejarah dan tak boleh ditawar lagi. Orang tak perlu
merepotkan latar belakang pendidikan formal, dikotomi sipil-militer, warna
parpol, sering muncul atau tidaknya di media massa. Generasi muda tidak harus
dari kalangan penyelenggara negara, atau pengusaha atau dari anasir formal
lainnya. Generasi muda merupakan kehendak sejarah dan yang penting rakyat siap,
siaga, sigap dengan kondisi tersebut.
Kalau memakai
asumsi historis, ternyata Orde Reformasi bukan kebetulan sebagai akumulasi Orde Lama ditambah Orde Baru.
Kalau melihat ke
depan, masa lampau bukan beban, memang generasi muda sangat diharapkan untuk
tampil total, turun gunung utawa mentas
dari kawah Candradimuka.
Celaka, KKN telah
mengkontaminasi satu generasi. Kita wajib bersyukur, generasi muda masih banyak
yang bisa membedakan mana kanan, mana kiri. Generasi muda yang kita harapkan
perannya masih bisa membedakan mana yang haram dan mana yang halal, tidak
mencampuradukkan.
Tinggal generasi lawas,
yang harus lilo legowo ngilo gitoké dhéwé. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar