Halaman

Senin, 03 September 2018

karakteristik generasi Nusantara, silau masa lampau vs alérgi masa depan


karakteristik generasi Nusantara, silau masa lampau vs alérgi masa depan

Modus generasi reformasi, dengan atraksi spektakulernya. Merasa wajib jadi berita. Menjadi pesohor. Dengan modal tulisan pamer bego di media sosial. Penulis buktikan di facebook.

Ketika negara sibuk kebobolan privasi data warga negaranya, maka dengan tenang generasi yang bebas berkeliaran di NKRI, malah umbar ujaran tertulis. Aneka bentuk nyata anak bangsa pribumi berkebutuhan khusus dibeberkan dengan jujur.

Generasi muda tak perlu merasa risau. Karena di dunia nyata, masih ada generasi pasca generasi muda, yang bahasa tulisnya menunjukkan isi perut. Otomatis. Tidak mengalami proses oleh hati, olah rasa. Apa yang terlintas di otak, akal, nalar, logikanya, langsung diomongkan, dibunyikan, dicetuskan, diujarkan atau ditulis dengan ringannya.

Wajar, semua ini karena ada daya dan  gaya self-destructive yang seolah hak milik generasi gojag-gajeg. Ramuan politik versi 2014-2019, menjadikan otak politik anak bangsa terkikis sebelum waktunya. Méntalitas 2014-2019: Kerugian Negara vs Degradasi Generasi vs Keuntungan Partai.

Betapa aib pluis nistanya karena ada generasi muda – tapi cepat matang nafsu syahwatnya yang antipati dengan istilah ‘pribumi’. Dengan cerdasnya ybs berdalih sebagai bentuk diskriminasi atau zaman now masuk kategori politik identitas.

Namanya generasi pewaris masa depan, jelas kalau tidak masuk sistem, akan termajinalkan secara menerus. Jangankan generasi pewaris masa depan, generasi usia senja merasa kurang pédé. Merasa tak eksis jika tak merapat ke kaki penguasa.

Tidak salah kalau pemerintah lebih peduli pada penyiapan generasi masa depan yang siap estafet kepemimpinan nasional. Diutamakan penyiapan generasi masa depan berbasis politik kekuasaan.

Wajar, muncul generasi yang dengan sengaja memperkeruh suasana. Sekalian jadi sama-sama kacau. Daripada berharap tanpa kejelasan. Ibarat burung pungguk merindukan bulan.

Apakah karena secara nasional, partai politik kurang mampu menyiapkan calon pemimpin nasional, sehingga mereka tidak peka, kurang peduli, dan malas tanggap terhadap gerakan nyata menyiapkan generasi masa depan. Karena tidak masuk ranah politik, tidak bergengsi secara politis, tidak mendongkrak citra diri, atau kalau terpaksa melakukan, hanya sekedar basa-basi, seremonial. Takut karir politiknya ternoda, terhambat maupun nilai jualnya merosot tajam, minimal mengganggu daya juang dan kinerja insting politiknya.

Ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan terhadap perjalanan hidup generasi masa depan sudah sedemikian sistematis, terukur dan dinamis. Kekerasan seksual yang menimpa anak, remaja atau cikal bakal generasi penerus masa depan bangsa, ibarat menghancurkan benih yang sedang tunas. Faktor penyebab tindak kekerasan seksual atau bagian dari penyakit masyarakat, tidak bersifat individual. Bedanya, karena ada tindakan yang legal, resmi, sesuai kebijakan lokal, tidak merugikan negara, berdaya tarik ekonomi sehingga malah perlu dilestarikan.

Secara historis, kearifan lokal (local wisdom, local knowledge, local genius) yang mengusung jati diri sila-sila Pancasila. Daya serap anak bangsa akan pendidikan politik yang dipamerkan oleh manusia yang sedang naik daun, ternyata jauh di luar prakiraan awal. Generasi lebih menyukai dengan daya guna, daya manfaat waktu formal.

Tak salah kawan, ada korelasi langsung, positif, nyata, terukur antara modus pemerintah dalam periodenya dengan karakter generasi penerus bangsa. Kendati, dengan catatan bahwa korelasi dimaksud, termasuk kategori korban pasif.

Tampilnya generasi muda sudah keharusan sejarah dan tak boleh ditawar lagi. Orang tak perlu merepotkan latar belakang pendidikan formal, dikotomi sipil-militer, warna parpol, sering muncul atau tidaknya di media massa. Generasi muda tidak harus dari kalangan penyelenggara negara, atau pengusaha atau dari anasir formal lainnya. Generasi muda merupakan kehendak sejarah dan yang penting rakyat siap, siaga, sigap dengan kondisi tersebut.

Kalau memakai asumsi historis, ternyata Orde Reformasi bukan kebetulan sebagai  akumulasi Orde Lama ditambah Orde Baru.

Kalau melihat ke depan, masa lampau bukan beban, memang generasi muda sangat diharapkan untuk tampil total,  turun gunung utawa mentas dari kawah Candradimuka.

Celaka, KKN telah mengkontaminasi satu generasi. Kita wajib bersyukur, generasi muda masih banyak yang bisa membedakan mana kanan, mana kiri. Generasi muda yang kita harapkan perannya masih bisa membedakan mana yang haram dan mana yang halal, tidak mencampuradukkan.

Tinggal generasi lawas, yang harus lilo legowo ngilo gitoké dhéwé. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar