sisi
kelam kampanye negatif, politisi butuh dana vs pengusaha butuh kebijakan publik
Namanya
politik versi Nusantara, bersifat dinamis, fluktuatif dan lelang terbuka. Jelang
pesta demokrasi segala tingkatan, terjadi hubungan diplomatik antara partai
politik atau politisi dengan penyandang dana. Pihak tersebut kedua, bisa klas
lokal, klas nasional, klas multinasional maupun investor politik internasional.
Karakter
dasar sebagai negara yang masih, sedang, selalu, akan berkembang adalah: Pertama.
Butuh dana yang tak terhitung untuk meraih kekuasaan.
Kedua. Butuh biaya yang
tak teranggarkan untuk mempertahankan kekuasaan.
Ketiga. Butuh modal
pembangunan negara yang ‘tak terduga’ selama menjalankan kekuasaan
Akhirnya,
terjadi kesepakatan untuk tidak sepakat. Hanya saling memaklumi. Tanpa ikatan
moral dan etika apapun. Jabat tangan basa-basi hanya untuk jaga jarak aman. Barter
politik tidak masuk kejahatan politik. Masuk daerah abu-abu, bisnis politik vs
politik bisnis.
Apa
yang akan terjadi, terjadilah aneka kejadian perkara.
Di tingkat
pemerintah lokal, mungkin paling bawah yaitu kelurahan, desa atau sebutan
lainnya. Pengusaha butuh proteksi, garansi, jaminan agar bisnisnya lancar. Gangguan
preman minta jatah, wajar. Artinya, ada ‘perlindungan’ dari atas atau aparat,
serta ‘pengaman’ dari bawah. Seolah menjadi lahan usaha organisasi
kemasyarakatan setempat.
Analog,
jika meningkat ke tingkat kecamatan. Sudah ada skenario, konspirasinya. Aroma irama
syahwat politi sudah menyengat. Kepentingan politik sudah bisa dijabarkan. Wewenang
camat dan atau kecamatan sebagai tukang sortir usulan pembangan pola bottom-up. Ingat zaman doeloe ada
batuang tapi hutang dari luar negeri, berbasis IKK.
Masuk
strata kabupaten/kota. Semua serba jelas bagaimana relasi penguasa dengan
pengusaha.
Sampai
di sini saja olahkatanya. Jangan sampai memperburuk rupa diri, memperjelek wajah
sendiri. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar