Halaman

Minggu, 09 September 2018

Indonesia besar kemasan daripada isi


Indonesia besar kemasan daripada isi

Sore itu, saya ke warung satu RT. Niat awal mau beli paket data 1GB, untuk isi ulang modem. Saat transaski sedang berjalan, datanglah anak usia sekitar bawah 10 tahun. Bawa uang kertas 5000 Rp. Saya kasih kode, mau beli apa.

Dengan santai dia ambil 3 bungkus snack dan sebut mereknya. Lanjut minta sambil tunjuk permen (?) dalam kemasan, dua biji. Kembaliannya dua keping uang logam 500 Rp.

Saya sempat kaget, ada makanan dalam kemasan seharga seribu rupiah. Penasaran, karena penjual tak tahu berat netto. Saya cek ternyata tertera netto 11 gr. Terpaksa tepuk jidat, tanda ketinggalan zaman.

“Untuk orang dewasa, sak emplokan . . . kurang!”, cetusku. Penjual hanya nyengir kuda.

Jangan terbawa hitungan ekonomis. Apalagi membayangkan, kalau di desa yang kurang beruntung, uang sekecil tadi mending dibelikan beras rakyat. Ditanak, santap sekeluarga. Lauk, soal lain.

Kata ahlinya, kemasan makanan seringan apapun, ada syarat teknisnya. Tidak boleh bocor. Ada nama, logo dan syarat administrasi. Karena pangsa pasar adalah dunia anak, kemasan harus seatraktif mungkin. Sedikit provokatif, spektakuler. Soal nantinya menjadi limbah, urusan lingkungan hidup.

Sesampainya di rumah, langsung cek modem. Alhamdulilah, paket data sudah masuk berlaku 30 hari kalender.

Masih terngiang kejadian perkara di warung. Sah-sah saja akhirnya memastikan keyakinan. Seberapa besar kemasan kalau isinya NKRI. Terlalu jauh berangannya. Pakai bahasa awam. Ternyata Indonesia adalah kemasan nasional. Semua merek ada. Semua nama tercantum. Banyak yang disamarkan atau pakai bahasa abu-abu.

Ironis binti miris, ketika kemasan digoyang tanpa dikocok. Terasa ringan di hati. Sepi tanpa tepi. Isinya saling beradu. Gemuruh memekakkan jiwa yang tenang. Ibarat sebiji kacang direbus. Bebas merdeka tanpa pesaing. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar