Indonesia besar kemasan
daripada isi
Sore itu, saya ke warung satu RT. Niat awal mau
beli paket data 1GB, untuk isi ulang modem. Saat transaski sedang berjalan,
datanglah anak usia sekitar bawah 10 tahun. Bawa uang kertas 5000 Rp. Saya kasih
kode, mau beli apa.
Dengan santai dia ambil 3 bungkus snack dan sebut
mereknya. Lanjut minta sambil tunjuk permen (?) dalam kemasan, dua biji. Kembaliannya
dua keping uang logam 500 Rp.
Saya sempat kaget, ada makanan dalam kemasan
seharga seribu rupiah. Penasaran, karena penjual tak tahu berat netto. Saya cek
ternyata tertera netto 11 gr. Terpaksa tepuk jidat, tanda ketinggalan zaman.
“Untuk orang dewasa, sak emplokan . . . kurang!”, cetusku. Penjual hanya nyengir kuda.
Jangan terbawa hitungan ekonomis. Apalagi membayangkan,
kalau di desa yang kurang beruntung, uang sekecil tadi mending dibelikan beras
rakyat. Ditanak, santap sekeluarga. Lauk, soal lain.
Kata ahlinya, kemasan makanan seringan apapun, ada
syarat teknisnya. Tidak boleh bocor. Ada nama, logo dan syarat administrasi. Karena
pangsa pasar adalah dunia anak, kemasan harus seatraktif mungkin. Sedikit provokatif,
spektakuler. Soal nantinya menjadi limbah, urusan lingkungan hidup.
Sesampainya di rumah, langsung cek modem. Alhamdulilah,
paket data sudah masuk berlaku 30 hari kalender.
Masih terngiang kejadian perkara di warung. Sah-sah
saja akhirnya memastikan keyakinan. Seberapa besar kemasan kalau isinya NKRI. Terlalu
jauh berangannya. Pakai bahasa awam. Ternyata
Indonesia adalah kemasan nasional. Semua merek ada. Semua nama tercantum. Banyak
yang disamarkan atau pakai bahasa abu-abu.
Ironis binti miris, ketika kemasan digoyang tanpa
dikocok. Terasa ringan di hati. Sepi tanpa tepi. Isinya saling beradu. Gemuruh memekakkan
jiwa yang tenang. Ibarat sebiji kacang direbus. Bebas merdeka tanpa pesaing. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar