Halaman

Jumat, 28 September 2018

Indeks Stabilitas Supremasi Sipil


Indeks Stabilitas Supremasi Sipil

Perjalanan sejarah NKRI, tidak bisa memungkiri peran militer di pemerintahan. Tentunya, sebagai presiden dan atau wakil presiden. Kental dan nyata, jika main banding, sanding, tanding antara  era Orde Lama dengan rezim Orde Baru. Tidak ada yang lebih baik apalagi lebih jelek. Minimal masih ada yang bisa diambil sebagai acuan, contoh, bukti maupun panutan.

Sebutan “pengawal bangsa” bagi ABRI atau  TNI di zaman Orde Baru yang nyaris utuh mendominasi semua tingkatan kenegaraan dan kemasyarakatan. Berkat doktrin canggihnya, yakni dwifungsi dan kekaryaan. Konsep dwifungsi sebagai jaminan konstitusional yang membenarkan peran sosial politik sekaligus peran pertahan keamanan. Kondisi ini memberi militer legitimasi untuk terlibat di berbagai aspek kehidupan, termasuk bisnis.

Hubungan tentara  dengan rakyat diibaratkan keterkaitan antara ikan dengan air. Bukan pada siapa yang merasa dibutuhkan. Ironis binti miris, jika serdadu masuk ke arus pemerintah secara langsung. Pengalaman zaman Orde Baru maupun dua periode SBY, 2004-2009 dan 2009-2014. SBY pernah berujar, kita semua tahu pengabdian tidak mengenal batas akhir, old soldiers never die, they just only fade away.

Penyebabnya juga karena kaderisasi partai bersifat kambuhan. Sisanya berpola main karbitan, orbitan; kader jenggot, kader tiban, kader titipan. Rakyat prihatin, ada ormas Islam yang menyatakan sikap netral, namun ikut andil berkomentar atas tingkah laku tim sukses. Alim ulama, cendekiawan muslim, tokoh ormas Islam, santri pondok pesantren yang lebih bijak jika mendukung agar pilpres berjalan sesuai keinginan bersama, tidak dengan mengelus-elus jagonya.

Indahnya kata supremasi kekuasaan sipil atas angkatan bersenjata membutuhkan militer yang tidak terpolitisasi. Lanjut ketika ada pemisahan yang efektif antara TNI dan Polri. Dilema yang dihadapi bangsa saat bergulirnya reformasi adalah mana yang harus diprioritaskan, membangun kontrol demokratis atau kontrol sipil atas militer.

Akhirnya kurs tengah beda prinsip dengan dalil politik: win-win solution. Berkaca pada aneka kejadian permasalahan bangsa selama 2014-2019. Tampak bahwa pemerintahan sipil jauh dari rasa percaya diri, yakin diri. Dimungkinkan karena posisi sentral dan peran strategis presiden hanya sebatas sebagai petugas partai.

Bagaimana sang petugas partai merangkul TNI-Polri tidak sesuai semangat dan jiwa UUD NRI 1945. Di pihak lain, struktur komando teritorial TNI-Polri tak terpengaruh hasil pesta demokrasi.Tidak juga. Jabatan pimpinan tertinggi ditetapkan oleh presiden. Sistem karir tidak berlaku. Presiden merasa kurang nyaman, sreg, dan berkenan di hati atau daya endus dan daya lacak politiknya. Terlihat gundah politik menentukan nasib sistem pertahanan dan keamanan. Masuknya mantan angkatan ke dalam barisan pembantu presiden, lingkar pertama, orang dalam semakin membuktikan jati diri, citra-pesona-wibawa diri politisi sipil yang masih jauh di bawah rata-rata.

Timbul aneka keadaan, kejadian, peristiwa yang tidak biasa. Beda dengan kejadian luar biasa (KLB). Diplesetkan menjadi biasa di luar kejadian.  Sulit diprediksi apalagi diantisipasi. Efek domino “pengawal bangsa” melahirkan dikotomi: bela negara vs bela rakyat. Musuh negara vs musuh rakyat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar