Indeks
Stabilitas Supremasi Sipil
Perjalanan
sejarah NKRI, tidak bisa memungkiri peran militer di pemerintahan. Tentunya,
sebagai presiden dan atau wakil presiden. Kental dan nyata, jika main banding,
sanding, tanding antara era Orde Lama
dengan rezim Orde Baru. Tidak ada yang lebih baik apalagi lebih jelek. Minimal
masih ada yang bisa diambil sebagai acuan, contoh, bukti maupun panutan.
Sebutan
“pengawal bangsa” bagi ABRI atau TNI di
zaman Orde Baru yang nyaris utuh mendominasi semua tingkatan kenegaraan dan kemasyarakatan.
Berkat doktrin canggihnya, yakni dwifungsi dan kekaryaan. Konsep dwifungsi sebagai
jaminan konstitusional yang membenarkan peran sosial politik sekaligus peran
pertahan keamanan. Kondisi ini memberi militer legitimasi untuk terlibat di
berbagai aspek kehidupan, termasuk bisnis.
Hubungan
tentara dengan rakyat diibaratkan
keterkaitan antara ikan dengan air. Bukan pada siapa yang merasa dibutuhkan. Ironis
binti miris, jika serdadu masuk ke arus pemerintah secara langsung. Pengalaman
zaman Orde Baru maupun dua periode SBY, 2004-2009 dan 2009-2014. SBY pernah
berujar, kita semua tahu pengabdian tidak mengenal batas akhir, old soldiers never die,
they just only fade away.
Penyebabnya
juga karena kaderisasi partai bersifat kambuhan. Sisanya berpola main karbitan,
orbitan; kader jenggot, kader tiban, kader titipan. Rakyat prihatin, ada ormas
Islam yang menyatakan sikap netral, namun ikut andil berkomentar atas tingkah
laku tim sukses. Alim ulama, cendekiawan muslim, tokoh ormas Islam, santri
pondok pesantren yang lebih bijak jika mendukung agar pilpres berjalan sesuai
keinginan bersama, tidak dengan mengelus-elus jagonya.
Indahnya
kata supremasi kekuasaan sipil atas
angkatan bersenjata membutuhkan militer yang tidak terpolitisasi. Lanjut ketika
ada pemisahan yang efektif antara TNI dan Polri. Dilema yang dihadapi bangsa
saat bergulirnya reformasi adalah mana yang harus diprioritaskan, membangun
kontrol demokratis atau kontrol sipil atas militer.
Akhirnya
kurs tengah beda prinsip dengan dalil politik: win-win solution. Berkaca pada aneka kejadian permasalahan bangsa selama
2014-2019. Tampak bahwa pemerintahan sipil jauh dari rasa percaya diri, yakin
diri. Dimungkinkan karena posisi sentral dan peran strategis presiden hanya
sebatas sebagai petugas partai.
Bagaimana
sang petugas partai merangkul TNI-Polri tidak sesuai semangat dan jiwa UUD NRI
1945. Di pihak lain, struktur komando teritorial TNI-Polri tak terpengaruh hasil
pesta demokrasi.Tidak juga. Jabatan pimpinan tertinggi ditetapkan oleh
presiden. Sistem karir tidak berlaku. Presiden merasa kurang nyaman, sreg, dan berkenan di hati atau daya endus dan daya
lacak politiknya. Terlihat gundah politik menentukan nasib sistem pertahanan
dan keamanan. Masuknya mantan angkatan ke dalam barisan pembantu presiden,
lingkar pertama, orang dalam semakin membuktikan jati diri, citra-pesona-wibawa
diri politisi sipil yang masih jauh di bawah rata-rata.
Timbul
aneka keadaan, kejadian, peristiwa yang tidak biasa. Beda dengan kejadian luar biasa (KLB). Diplesetkan menjadi biasa di luar kejadian. Sulit diprediksi apalagi diantisipasi. Efek domino
“pengawal bangsa” melahirkan dikotomi: bela negara vs bela rakyat. Musuh negara
vs musuh rakyat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar