menformat
ulang generasi tan madep
Manusia dan atau orang lebih merasa berklas jika membicarakan generasinya.
Arisan trah menjadi komunitas yang merasa tetap eksis. Anak keturunan pasutri
tersohor di zamannya. Minimal kandungan darah biru mewarnai jiwa raganya. Alias
keturunan orang baik-baik. Mempunyai gelar kebangsawanan.
Jadi. Dengan tulas-tulis generasi, tak akan ada tuntasnya. Penulis pun
bagian dari generasi. Merasa generasi terbitan dekade pertama pasca Proklamasi
17 Agustus 1945. Karena usia dan uban, yakin diri sebagai generasi pewaris masa
depan.
Boleh saja, memposisikan diri bahwa nantinya anak keturunanku, bangga
dengan kakek-nenek moyangnya. Bukan pelaut. Domisili di pedalaman, bukan
wilayah pantai, pesisir. Karena pekerjaan pernah mengudara. Liwat tol udara. Salah
satu rasa bangga, mengalir darah
Nusantara. Secara silsilah, garis keturunanku sudah tidak ada suku bangsa. Saya
pun, jika ditanya asal suku, sudah hasil pembauran.
PR besar bangsa adalah menyiapkan generasi emas, Indonesia 100 tahun, 2045.
Dengan cara diangsur, dicicil. Disiapkan mental ideologinya. Masalah kenegaraannya,
tidak ada pihak yang berhak menyiapkannya. Bahkan sebaliknya, manusia politik
layak diformat ulang.
Peta politik Nusantara yang semangkin warna-warni. Diaduk dengan kecepatan
tertentu, yang tampak warna merah. Bukan warna putih sesuai hukum atau ilmu
fisika.
Kesenjangan, ketimpangan antar penduduk, masyarakat, warga negara serta
sebutan lainnya. Dipelihara oleh negara. Mejadi nilai jual bangsa di mata badan
/ negara serta nilai gadai di mata investor politik.
Tidak perlu kasak-kusuk mencari kambing hitam, apalagi main adu domba. Buaya
berbusana gembala. Serigala berbulu gembala, siap menerkam dari arah depan,
belakang; siap memangsa dari arah samping kanan, samping kiri. Ingat kisah
iblis. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar