Indonesia
butuh tangan dingin rakyat
Entah skenario pihak mana, jika
ternyata sedemikian diharapkan efek domino dari pemilu serentak 2019. Enerji
dan emosi rakyat diadu, diaduk-aduk
dengan teka-teki siapa sosok layak bakal calon wakil presiden. Soal hak istimewa
koruptor, status mantan warga binaan, tidak ada larangan maju di pemillu
legislatif 2019.
Arti sederhanya, kemanfaatan partai
politik yang sebagai pencetak presiden, hanya menambah beban berlapis, memperjelas
tekanan ganda, maupun memperbanyak tanggung terutang rakyat.
Peta politik nasional berubah hanya
lima tahun sekali. Peta politik daerah mengalami segmentasi akibat pilkada
serentak. Kedaulatan daerah provinsi akan semakin nyata. Dejure, gubernur sebagai
perpanjangan tangan pemerintah. Bukan sekedar tukang halo-halo. Urusan dan
usulan pembangunan dari bawah melalui mekanisme wewenang provinsi.
De facto atau kondisi nyata, gubernur,
bupati/walikota yang satu partai dengan presiden menghadirkan NKRI dalam
blok-blok. Kondisi ini menuju proses pematangan paket politik ‘nasakom’ warisan
Orde Lama. Aroma irama politik 2014-2019 menjadi masa transisi, batu loncatan. Sudah
kebaca.
Rakyat terbiasa berjuang untuk
melawan tirani lokal (koalisi penguasa dengan pengusaha). Rakyat kebal dengan
bencana politik buatan manusia.
Melihat acara, adegan, atraksi
manusia politik dengan aneka modus, menjadikan rakyat semakin maklum. Memperkokoh
barisan. Memperkuat wujud persatuan dan kesatuan. Semakin yakin dengan
substansi dan redaksi doa.
Praktik demokrasi berjalan terbalik.
Pihak yang dipilih – sebut saja wakil rakyat, wakil daerah, kepala daerah,
kepala negara – merasa sebagai pihak
yang dibutuhkan. Mampu menggaet jumlah pemilih untuk meraih kursi sesuai aturan
main, semakin merasa bak raja diraja.
Geliat rakyat bukan alternatif terakhir.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar