Halaman

Sabtu, 22 September 2018

Indonesia butuh tangan dingin rakyat


Indonesia butuh tangan dingin rakyat

Entah skenario pihak mana, jika ternyata sedemikian diharapkan efek domino dari pemilu serentak 2019. Enerji dan emosi rakyat diadu,  diaduk-aduk dengan  teka-teki siapa sosok layak  bakal calon wakil presiden. Soal hak istimewa koruptor, status mantan warga binaan, tidak ada larangan maju di pemillu legislatif 2019.

Arti sederhanya, kemanfaatan partai politik yang sebagai pencetak presiden, hanya menambah beban berlapis, memperjelas tekanan ganda, maupun memperbanyak tanggung terutang rakyat.

Peta politik nasional berubah hanya lima tahun sekali. Peta politik daerah mengalami segmentasi akibat pilkada serentak. Kedaulatan daerah provinsi akan semakin nyata. Dejure, gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Bukan sekedar tukang halo-halo. Urusan dan usulan pembangunan dari bawah melalui mekanisme wewenang provinsi.

De facto atau kondisi nyata, gubernur, bupati/walikota yang satu partai dengan presiden menghadirkan NKRI dalam blok-blok. Kondisi ini menuju proses pematangan paket politik ‘nasakom’ warisan Orde Lama. Aroma irama politik 2014-2019 menjadi masa transisi, batu loncatan. Sudah kebaca.

Rakyat terbiasa berjuang untuk melawan tirani lokal (koalisi penguasa dengan pengusaha). Rakyat kebal dengan bencana politik buatan manusia.

Melihat acara, adegan, atraksi manusia politik dengan aneka modus, menjadikan rakyat semakin maklum. Memperkokoh barisan. Memperkuat wujud persatuan dan kesatuan. Semakin yakin dengan substansi dan redaksi doa.

Praktik demokrasi berjalan terbalik. Pihak yang dipilih – sebut saja wakil rakyat, wakil daerah, kepala daerah, kepala negara –  merasa sebagai pihak yang dibutuhkan. Mampu menggaet jumlah pemilih untuk meraih kursi sesuai aturan main, semakin merasa bak raja diraja.

Geliat rakyat bukan alternatif terakhir. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar