ulama
Nusantara menjadi kendaraan politik penguasa, salah kaprah vs salah kamar
Bukan salah bunda mengandung. Bukan
salah Ibu Pertiwi mengandung. Bukan salah huruf Jawa ‘Ha Na Ca Ra Ka’ . . .
ketika dipangku menjadi mati lemas tak vokal. Juga bukan salah sejarah yang
telah ditulis dengan benar, baik, bagus.
Fakta lapangan menjadi bukti yang
menarik semua pihak. Secara yuridis bisa ‘dihilangkan’ agar tak masuk agenda
peradilan. Sebaliknya, mendadak bisa ‘dihadirkan’ secara seksama demi
kepentingan yang lebih penting.
Namanya sejarah Indonesia, per
periode. Kisah sukses yang diderita penguasa wajib tayang. Aneka kejasaan
melebihi panggilan tugas, ditampilkan secara perkasa plus foto penunjang.
Di sinilah, cerita dimulai. Pokoknya
sejarah lebih menampilkan jasa penguasa. Soal ada faktor lain yang tak kalah
penting, abaikan. Utamakan kepentingan pihak berwajib. Yang menentukan
kepentingan bukan pembaca.
Sejarah Orde Baru, menampilkan sosok
senyum sang Jenderal. Taktik dan strategi lapangan diterapkan di
pemerintahannya. Hasilnya malah diluar logikanya. Betapa sebuah bukan partai,
yaitu Golongan Karya menjadi kendaraan politiknya. Akhirnya mampu melegitimasi
sebagai penguasa tunggal Orde Baru liwat 6 (enam) kali pemilu.
Setiap pemerintahan selalu
membutuhkan pengorbanan. Termasuk pihak yang karena pasal tertentu, wajib
dikorbankan. Kawan seperjuangan jika tak mau diajak berjuang bersama, matikan
langkah politiknya. Bilamana perlu ikhwal kehidupan lainnya.
SBY yang notabene adalah jenderal
TNI, ketika berhasil dua periode berturut-turut menjadi presiden keenam RI,
2004-2009 dan 2009-2014. Pengamat politik sekaliber apapun, belum berani
merumuskan rumus susksesnya. Sejauh ini acuan politisi sipil adalah kisah sukes
Bunga Karno.
Akhirnya, terjadilah apa yang memang
harus terjadi. Antara lain: karakteristik generasi Nusantara, silau masa lampau
vs alérgi masa depan.
Sejarah acap mengabaikan peran para
pelaku di balik layar. Atau pihak yang berseberangan dengan pemerintah,
pengusa. Pembunuhan karakter, pengkerdilan peran berlanjut, bersambung antar
periode.
Efek domino negara multipartai,
antara lain politik menjadi panglima dan agama bumi. Asas dinamisme dan
animisme berlaku di internal parpol.
Antara politik dengan agama,
tergantung selera bandar politik atau investor politik internasional. Di
periode 2014-2019 terjadi seperti yang pernah saya tayangkan:
ketika Ulama
dikriminalisasi dan atau diajak berkongsi
bonus idélogi
non-Pancasila, merangkul dan atau mendengkul Ulama
INDONESIA–ku 73 tahun,
ulama Nusantara vs ulama Nusantara
Orang Gila Mengincar
Ulama, Manusia Waras Mengabaikan Ulama
Dilema Cadar, Fatwa
Ulama vs Otoritas Lokal
Umara Banyak Tingkah,
Ulama Kena Getah
Menakar Kekuatan Politik
Ulama
Patokan reliji bahwa ulama merupakan
perpanjangan tangan nabi Muammad saw, Rasulullah saw. Betapa rindunya
Rasulullah pada umat Islam yang tidak pernah melihat beliau. Tetapi tetap
mengakui, meyakini, bersaksi akan kerasulan beliau.
Dipastikan, ulama sampai akhir zaman
tahu diri, tahu posisi. Tahu harus
berbuat apa dan bisa melakukannya, mengerjakannya, melaksanakannya,
mempraktikkannya.
Ulama yang tak lekang oleh zaman, tak
aus oleh periode. Tahu mana urusan dan nikmat dunia, yakin yang mana urusan dan
nikmat akhirat. Tidak berada di posisi abu-abu. Apalagi cari selamat. Tidak mencari
posisi yang aman, nyaman.
Ngorèti sisa periode 2014-2019, kelakuan petualang, pecundang politik
anak bangsa pribumi, bumiputera, putra-putri terbaik daerah semangkin
menujukkan keberingasan, kebrutalaan dan serbatéga. Di éra mégatéga, kejadian
perkara bak “pagar makan tanaman”, bukan pasal nista, tabu.
Tahun
politik selalu ,menimbulkan bencana politik yang memancing bencana lainnya.
Anak cucu ideologis memang pekanya hanya dengan suara ketukan pintu istana,
bukan sinyal dari pintu langit. Penguasa memang ahli mencari kambing hitam atas
kekurangannya, padahal rakyat sudah total mendukung pemerintah. Penduduk, warga
negara, rakyat, masyarakat sesuai UUD NRI 1945 sudah dipasalkan tentang hak dan
kewajibannya serta peran dan posisinya.
Lalu
lintas politik lokal menjadikan pihak berwenang merasa mempunyai wewenang lebih
untuk balas jasa dan balas budi kepada pihak yang memberinya kursi kekuasaan.
Pihak yang berwajib sebagai pengayom dan pengayem masyarakat, merasa lebih
berwajib melindungi penguasa agar berlanjut ke periode berikutnya. Sistem pertahanan
sangat loyal mendukung total. Belum terhitung kawalan dari armada nenek moyangku
orang pelaut. Ditambah ronda jelajah Nusantara dari dirgantara, angkasa raya.
Akankah ulama Nusantara berperan
sebagai batu loncatan sekaligus batu sandungan!!! Salah kaprah atau salah
kamar. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar