Halaman

Selasa, 11 September 2018

ulama Nusantara menjadi kendaraan politik penguasa, salah kaprah vs salah kamar


ulama Nusantara menjadi kendaraan politik penguasa, salah kaprah vs salah kamar

Bukan salah bunda mengandung. Bukan salah Ibu Pertiwi mengandung. Bukan salah huruf Jawa ‘Ha Na Ca Ra Ka’ . . . ketika dipangku menjadi mati lemas tak vokal. Juga bukan salah sejarah yang telah ditulis dengan benar, baik, bagus.

Fakta lapangan menjadi bukti yang menarik semua pihak. Secara yuridis bisa ‘dihilangkan’ agar tak masuk agenda peradilan. Sebaliknya, mendadak bisa ‘dihadirkan’ secara seksama demi kepentingan yang lebih penting.

Namanya sejarah Indonesia, per periode. Kisah sukses yang diderita penguasa wajib tayang. Aneka kejasaan melebihi panggilan tugas, ditampilkan secara perkasa plus foto penunjang.

Di sinilah, cerita dimulai. Pokoknya sejarah lebih menampilkan jasa penguasa. Soal ada faktor lain yang tak kalah penting, abaikan. Utamakan kepentingan pihak berwajib. Yang menentukan kepentingan bukan pembaca.

Sejarah Orde Baru, menampilkan sosok senyum sang Jenderal. Taktik dan strategi lapangan diterapkan di pemerintahannya. Hasilnya malah diluar logikanya. Betapa sebuah bukan partai, yaitu Golongan Karya menjadi kendaraan politiknya. Akhirnya mampu melegitimasi sebagai penguasa tunggal Orde Baru liwat 6 (enam) kali pemilu.

Setiap pemerintahan selalu membutuhkan pengorbanan. Termasuk pihak yang karena pasal tertentu, wajib dikorbankan. Kawan seperjuangan jika tak mau diajak berjuang bersama, matikan langkah politiknya. Bilamana perlu ikhwal kehidupan lainnya.

SBY yang notabene adalah jenderal TNI, ketika berhasil dua periode berturut-turut menjadi presiden keenam RI, 2004-2009 dan 2009-2014. Pengamat politik sekaliber apapun, belum berani merumuskan rumus susksesnya. Sejauh ini acuan politisi sipil adalah kisah sukes Bunga Karno.

Akhirnya, terjadilah apa yang memang harus terjadi. Antara lain: karakteristik generasi Nusantara, silau masa lampau vs alérgi masa depan.

Sejarah acap mengabaikan peran para pelaku di balik layar. Atau pihak yang berseberangan dengan pemerintah, pengusa. Pembunuhan karakter, pengkerdilan peran berlanjut, bersambung antar periode.

Efek domino negara multipartai, antara lain politik menjadi panglima dan agama bumi. Asas dinamisme dan animisme berlaku di internal parpol.

Antara politik dengan agama, tergantung selera bandar politik atau investor politik internasional. Di periode 2014-2019 terjadi seperti yang pernah saya tayangkan:
­   ketika Ulama dikriminalisasi dan atau diajak berkongsi
­   bonus idélogi non-Pancasila, merangkul dan atau mendengkul Ulama
­   INDONESIA–ku 73 tahun, ulama Nusantara vs ulama Nusantara
­   Orang Gila Mengincar Ulama, Manusia Waras Mengabaikan Ulama
­   Dilema Cadar, Fatwa Ulama vs Otoritas Lokal
­   Umara Banyak Tingkah, Ulama Kena Getah
­   Menakar Kekuatan Politik Ulama

Patokan reliji bahwa ulama merupakan perpanjangan tangan nabi Muammad saw, Rasulullah saw. Betapa rindunya Rasulullah pada umat Islam yang tidak pernah melihat beliau. Tetapi tetap mengakui, meyakini, bersaksi akan kerasulan beliau.

Dipastikan, ulama sampai akhir zaman tahu diri, tahu posisi.  Tahu harus berbuat apa dan bisa melakukannya, mengerjakannya, melaksanakannya, mempraktikkannya.

Ulama yang tak lekang oleh zaman, tak aus oleh periode. Tahu mana urusan dan nikmat dunia, yakin yang mana urusan dan nikmat akhirat. Tidak berada di posisi abu-abu. Apalagi cari selamat. Tidak mencari posisi yang aman, nyaman.

Ngorèti sisa periode 2014-2019, kelakuan petualang, pecundang politik anak bangsa pribumi, bumiputera, putra-putri terbaik daerah semangkin menujukkan keberingasan, kebrutalaan dan serbatéga. Di éra mégatéga, kejadian perkara bak “pagar makan tanaman”, bukan pasal nista, tabu.

Tahun politik selalu ,menimbulkan bencana politik yang memancing bencana lainnya. Anak cucu ideologis memang pekanya hanya dengan suara ketukan pintu istana, bukan sinyal dari pintu langit. Penguasa memang ahli mencari kambing hitam atas kekurangannya, padahal rakyat sudah total mendukung pemerintah. Penduduk, warga negara, rakyat, masyarakat sesuai UUD NRI 1945 sudah dipasalkan tentang hak dan kewajibannya serta peran dan posisinya.

Lalu lintas politik lokal menjadikan pihak berwenang merasa mempunyai wewenang lebih untuk balas jasa dan balas budi kepada pihak yang memberinya kursi kekuasaan. Pihak yang berwajib sebagai pengayom dan pengayem masyarakat, merasa lebih berwajib melindungi penguasa agar berlanjut ke periode berikutnya. Sistem pertahanan sangat loyal mendukung total. Belum terhitung kawalan dari armada nenek moyangku orang pelaut. Ditambah ronda jelajah Nusantara dari dirgantara, angkasa raya. 

Akankah ulama Nusantara berperan sebagai batu loncatan sekaligus batu sandungan!!! Salah kaprah atau salah kamar. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar