Halaman

Minggu, 23 September 2018

keadilan dimulai dari kehidupan bermasyarakat

keadilan dimulai dari kehidupan bermasyarakat

Diksi adil menjadi dilematis. Sang penuntut harus mampu berkaca, apakah sudah berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Apakah praktik keadilan sudah terasa manfaatnya.

Adil sebagai rasa. Semakin digaungkan dari atas, semakin hambar. Semakin disebut, dirumuskan secara formal konstitusional, yang terjadi atau apa yang akan dilakukan justru sebaliknya.

Adil sebagai kata dasar, mendapat awalan dan atau akhiran, menjadi beban bagi pengembannya.

Singkat kata. Berbasis kata adil, semakin dikupas malah semakin menemukan makna berlapis.

Keadilan dalam arti yuridis formal akan diterapkan pada kondisi yang mengganggu kehidupan bersama di kelompok masyarakat, komunitas masyarakat. Masyarakat yang terikat pada teritorial, geografis seolah sudah ada kesepakatan tak tertulis untuk saling menjaga perasaan. Saling menjaga hak yang tak pernah ditulis.

Ikatan moral menjadikan rasa adil menjadi menu dasar dalam bermasyarakat. Budaya tepo sliro, tenggang rasa dan sejenisnya, merupakan syarat teknis tetap bergulirnya keadilan. Keadilan bukan sesuatu yang sakral atau sebagai alat pemukul. Keadilan yang adil merupakan terjemahan bahasa langit.

Praktik adil di lapisan masyarakat, yang masih menjunjung tinggi norma kehidupan, sebagai penjaga persatuan dan kesatuan.

Belajar dari sejarah. Atau sekedar tahu saja. Sila-sila Pancasila merupakan praktik kehidupan bermasyarakat. Menjadi dalil kehidupan rakyat kebanyakan. Ironis binti miris, semakin dirumuskan malah semakin menjauh dari rakyat. Meninggalkan landasan lapisan masyarakat akar rumput. Menjadi bahasa dewa yang membubung, mengangkasa. Lupa bumi, lali daratan.

Semakin ada wakil rakyat, perlu pengulangan sil-sila Pancasila sesuai bahasa dan adat setempat, di setiap lapisan, strata, kasta bebangsa dan bernegara. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar