keadilan
dimulai dari kehidupan bermasyarakat
Diksi adil menjadi dilematis. Sang penuntut harus mampu berkaca, apakah
sudah berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Apakah praktik keadilan sudah
terasa manfaatnya.
Adil sebagai rasa. Semakin digaungkan dari atas, semakin hambar. Semakin
disebut, dirumuskan secara formal konstitusional, yang terjadi atau apa yang
akan dilakukan justru sebaliknya.
Adil sebagai kata dasar, mendapat awalan dan atau akhiran, menjadi beban
bagi pengembannya.
Singkat kata. Berbasis kata adil, semakin dikupas malah semakin menemukan
makna berlapis.
Keadilan dalam arti yuridis formal akan diterapkan pada kondisi yang
mengganggu kehidupan bersama di kelompok masyarakat, komunitas masyarakat.
Masyarakat yang terikat pada teritorial, geografis seolah sudah ada kesepakatan
tak tertulis untuk saling menjaga perasaan. Saling menjaga hak yang tak pernah
ditulis.
Ikatan moral menjadikan rasa adil menjadi menu dasar dalam bermasyarakat.
Budaya tepo sliro, tenggang rasa dan
sejenisnya, merupakan syarat teknis tetap bergulirnya keadilan. Keadilan bukan
sesuatu yang sakral atau sebagai alat pemukul. Keadilan yang adil merupakan
terjemahan bahasa langit.
Praktik adil di lapisan masyarakat, yang masih menjunjung tinggi norma
kehidupan, sebagai penjaga persatuan dan kesatuan.
Belajar dari sejarah. Atau sekedar tahu saja. Sila-sila Pancasila merupakan
praktik kehidupan bermasyarakat. Menjadi dalil kehidupan rakyat kebanyakan. Ironis
binti miris, semakin dirumuskan malah semakin menjauh dari rakyat. Meninggalkan
landasan lapisan masyarakat akar rumput. Menjadi bahasa dewa yang membubung, mengangkasa.
Lupa bumi, lali daratan.
Semakin ada wakil rakyat, perlu pengulangan sil-sila Pancasila sesuai
bahasa dan adat setempat, di setiap lapisan, strata, kasta bebangsa dan
bernegara. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar