Halaman

Senin, 17 September 2018

bersahabat dengan masa depan


bersahabat dengan masa depan

Anjuran agama tauhid agar jangan meninggalkan generasi yang lemah sepeninggal kita. Manusia sebagai mahkluk sosial yang membentuk komunitas, kelompok, kaum sampai tatanan bangsa. Orang tua bekerja, mencari uang demi dan untuk anaknya. Pola juang orang tua standar turun-temurun dan tak sengaja menjadi warisan.

Akumulasinya menjadi bias. Interaksi sosial menjadi persaingan bebas untuk lebih eksis. Alasan ekonomi menjadi acuan. Dalil alibinya, kenyang dulu baru mikirkan nasib orang lain. Kendati tetangga gelisah sudah lebih sehari belum sua nasi.

Lain cerita, beda berita. Manusia sebagai makhluk politik. Berlaku rumusan: besok siapa lagi yang akan dimakan. Kebutuhan dasar manusia politik, mulai dari mengambang tergantung pasar sampai skenario politik sesuai konspirasi.

Kembali ke soal, siapa yang wajib menyiapkan generasi masa depan. Jangan sampai malah menjadi generasi yang lemah segala aspek kehidupan. Menjadi anak mama sampai yang terbiasa disuapi. Sampai gedhè pun terbiasa dibisiki. Baru bertindak, action, setelah diiming-imingi. Bujuk rayu seklas apapun  tak akan mempan.

Generasi masa depan cetakan gen manusia politik, jelas bukam masuk kategori masyarakat kurang beruntung, masyarakat berpenghasilan rendah, rumah tangga miskin, keluarga pra-sejahtera atau predikat lainnya.

Kisah sukses manusia politik – bedakan dengan pejuang ideologi zaman doeloe – minimal yang masuk elit partai. Bingung membelanjakan uangnya. Semakin beruang semakin merasa miskin.

Jadi, jalur politik membuat percepatan pembentukan generasi pewaris masa depan. Bangsa Indonesia merasa lega jika penerus praktikkan Pancasila, berada di tangan yang berhak. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar