bersahabat
dengan masa depan
Anjuran agama tauhid agar jangan
meninggalkan generasi yang lemah sepeninggal kita. Manusia sebagai mahkluk
sosial yang membentuk komunitas, kelompok, kaum sampai tatanan bangsa. Orang
tua bekerja, mencari uang demi dan untuk anaknya. Pola juang orang tua standar
turun-temurun dan tak sengaja menjadi warisan.
Akumulasinya menjadi bias. Interaksi
sosial menjadi persaingan bebas untuk lebih eksis. Alasan ekonomi menjadi
acuan. Dalil alibinya, kenyang dulu baru mikirkan nasib orang lain. Kendati
tetangga gelisah sudah lebih sehari belum sua nasi.
Lain cerita, beda berita. Manusia
sebagai makhluk politik. Berlaku rumusan: besok siapa lagi yang
akan dimakan. Kebutuhan dasar manusia politik, mulai dari mengambang
tergantung pasar sampai skenario politik sesuai konspirasi.
Kembali ke soal, siapa yang wajib
menyiapkan generasi masa depan. Jangan sampai malah menjadi generasi yang lemah
segala aspek kehidupan. Menjadi anak mama sampai yang terbiasa disuapi. Sampai
gedhè pun terbiasa dibisiki. Baru bertindak, action, setelah
diiming-imingi. Bujuk rayu seklas apapun
tak akan mempan.
Generasi masa depan cetakan gen
manusia politik, jelas bukam masuk kategori masyarakat kurang beruntung,
masyarakat berpenghasilan rendah, rumah tangga miskin, keluarga pra-sejahtera
atau predikat lainnya.
Kisah sukses manusia politik –
bedakan dengan pejuang ideologi zaman doeloe – minimal yang masuk elit partai. Bingung
membelanjakan uangnya. Semakin beruang semakin merasa miskin.
Jadi, jalur politik membuat
percepatan pembentukan generasi pewaris masa depan. Bangsa Indonesia merasa
lega jika penerus praktikkan Pancasila, berada di tangan yang berhak. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar