jasa koruptor
mengharumkan nama partai
Di atas kertas, praktik menu rasa toleransi
Nusantara begitu santun. Kaki tertindih kaki orang lain, malah minta maaf
berkesopanan. Tak mengaduh, merintih apalagi main protes. Mau ajukan banding ke
pihak mana.
Tanpa evaluasi fakta. Manusia politik yang dalam
satu periode mendapatkan aneka peran. Terpilih karena mendapat suara layak
sampai terpidana. Karena jasa nyatanya kepada partai. Tetap dimuliakan. Secara dejure
sudah kembali menjadi manusia fitrah.
Menebus dosa, sudah. Tinggal mengejar
ketertinggalannya, hutang pengabdian, karena menjadi warga binaan. Rakyat ‘tak
berhak’ main protes. Memaafkanpun . . . cukup dengan rasa maklum. Senyum getir.
Kesempatan untuk berjibaku ke periode selanjutnya. Sudah
dua kali, bisa naik kasta. Maksudnya, sudah dua kali jadi wakil rakyat
kabupaten/kota, masuk bursa caleg provinsi. Dan selanjutnya sesuai selera.
Pemanis bibir elit partai yang tak akan membela
kadernya yang terlibas pasal hukum. Stok manusia politik yang menjadi pemodal,
antri. Bentuk persaingan internal. Lawan politik seolah tutup mata. Sama-sama
menggunakan modus serupa.
Manusia politik yang mengalami nasib “habis manis
sepah didaur ulang”, menjadi manusia bebas. Jaringan antar manusia politik yang
sama-sama menikmati dan penikmat, tak bisa diabaikan, dipungkiri. Anak bangsa
pribumi tahu rasa berterima kasih.
Tata niaga politik Nusantara sudah faham dengan
pola sesuai judul. Kalkulasi politik jangan sampai menambah penerima manfaat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar