ketika
Pancasila berada di tangan yang tak berhak
Katanya. Sejarah membuktikan
bahwasanya sila-sila Pancasila merupakan praktik kehidupan harian rakyat. Pasca
Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila mengalami ujian politik. Pemberontakan PKI
dengan laon Madiun Affair September 1948. Pancasila masih adem ayem. Lanjut dengan
kudeta G30S 1965. Pancasila menjadi sakti.
Posisi dan peran Pancasila, semula
adalah dasar negara. Berkat reformasi yang bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998,
muncul 4 pilar bebangsa dan bernegara. Tak layak diuraiokan di sini. Ada pihak yang
lebih berwajib dan lebih layak membeberkannya. Minimal ada menteri spesialis
Pancasila.
Lazim terjadi, dikarenakan atau
muncullah rumus politik dalam negeri. Semakin jauh penyelenggara negara dari
rakyat, akan berbanding lurus dengan rontoknya nilai-nilai Pancasila. Di pihak
rakyat. Acap mereka berjuang untuk melawan tirani lokal. Lokasi kejadian
perkara di ibukota negara pun, menjadi berita umum, cerita biasa.
Perguliran periode seolah Pancasila
hanya sebagai pemerah bibir. Lambang Pancasila dibutuhkan untuk membuat potret
diri presiden dan wakil presiden. Akhirnya, potret presiden dan wakil presiden sebagai
pajangan di ruang sidang, ruang rapat, ruang pimpinan atau kepala. Tak ketinggalam
lambang burung garuda Pancasila.
Jangan salahkan jika generasi
pro-penguasa menjadi antipati tanpa sebab, risi plus risau, alèrgi tak
berkesudahan dengan Pancasila. Indikasi sederhana, jika nantinya gema azan di
ruang angkasa raya Nusantara, semakin sayup, semakin redup. Tak sambung-menyambung
menjadi satu. Mulai dari matahari terbit. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar