Halaman

Senin, 17 September 2018

ketika Pancasila berada di tangan yang tak berhak



ketika Pancasila berada di tangan yang tak berhak

Katanya. Sejarah membuktikan bahwasanya sila-sila Pancasila merupakan praktik kehidupan harian rakyat. Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila mengalami ujian politik. Pemberontakan PKI dengan laon Madiun Affair September 1948. Pancasila masih adem ayem. Lanjut dengan kudeta G30S 1965. Pancasila menjadi sakti.

Posisi dan peran Pancasila, semula adalah dasar negara. Berkat reformasi yang bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998, muncul 4 pilar bebangsa dan bernegara. Tak layak diuraiokan di sini. Ada pihak yang lebih berwajib dan lebih layak membeberkannya. Minimal ada menteri spesialis Pancasila.

Lazim terjadi, dikarenakan atau muncullah rumus politik dalam negeri. Semakin jauh penyelenggara negara dari rakyat, akan berbanding lurus dengan rontoknya nilai-nilai Pancasila. Di pihak rakyat. Acap mereka berjuang untuk melawan tirani lokal. Lokasi kejadian perkara di ibukota negara pun, menjadi berita umum, cerita biasa.

Perguliran periode seolah Pancasila hanya sebagai pemerah bibir. Lambang Pancasila dibutuhkan untuk membuat potret diri presiden dan wakil presiden. Akhirnya, potret presiden dan wakil presiden sebagai pajangan di ruang sidang, ruang rapat, ruang pimpinan atau kepala. Tak ketinggalam lambang burung garuda Pancasila.

Jangan salahkan jika generasi pro-penguasa menjadi antipati tanpa sebab, risi plus risau, alèrgi tak berkesudahan dengan Pancasila. Indikasi sederhana, jika nantinya gema azan di ruang angkasa raya Nusantara, semakin sayup, semakin redup. Tak sambung-menyambung menjadi satu. Mulai dari matahari terbit. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar