hijrah mewujudkan kedaulatan
dan kesetaraan (partai) politik Islam
Lelucon tahunan menyemarakkan tahun politik 2018
dan 2019. Mengacu guyonan anak-anak, bahwa pilpres 2019 menjadi adu saing
antara dua organisasi kemasyarakatan Islam. Yang satu jelas dengan nama ulama
sebagai label.
Rahasia umum kalau mereka sejak berada memang bukan
untuk memperkuat barisan umat Islam yang beda atribut. Terlebih, pasca
bergulirnya reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, melahirkan dua
partai politik.
Namanya politik Bung!
Efek domino modus politik Nasional yang melegitimasi
kudeta konstitusional semakin terlacak, terdeteksi, terendus.
Pertama. Menjadikan waktu efektif jabatan kepala negara
hanya di awal paruh periode. Masa transisi di tengah periode. Kalkulasi politik
sudah terang benderang. Siapa harus makan siapa. Siapa diumpankan, dikorbankan
untuk bisa melaju ke periode kedua. Akhir paruh periode menjadi tahun
konsolidasi aneka sumber daya. Nilai tukar presiden menentukan nilai tukar Rp.
Kedua. Parpol yang tak punya jago yang siap laga di
pilpres. Malah pasang tarif dukungan. Barter politik terjadi dengan seksama dan
tanpa rasa malu. Koalisi menjadi bentuk nyata kawanan parpolis untuk menguatkan
saraf dan syahwat politik. Dukungan satu suara ada nilai dunianya. Bisa menentukan
keseimbangan. Modus lawas dengan DPT ganda. Atau ada ‘mufakat untuk mufakat’ di
TPS. Tak terelakkan intimidasi politik.
Dua pokok ujaran tertulis di atas, lalu dimana
konstribusi partai politik Islam. Selain dua parpol Islam yang sudah
disiratkan. Politik Islam adalah pemikiran dan tindakan nyata. Bukan mengutamakan
wadah pergerakan yang multiguna. Ujung-ujungnya malah menjadi kendaraan tempur.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar