Halaman

Senin, 10 September 2018

hijrah mewujudkan kedaulatan dan kesetaraan (partai) politik Islam


hijrah mewujudkan kedaulatan dan kesetaraan (partai) politik Islam

Lelucon tahunan menyemarakkan tahun politik 2018 dan 2019. Mengacu guyonan anak-anak, bahwa pilpres 2019 menjadi adu saing antara dua organisasi kemasyarakatan Islam. Yang satu jelas dengan nama ulama sebagai label.

Rahasia umum kalau mereka sejak berada memang bukan untuk memperkuat barisan umat Islam yang beda atribut. Terlebih, pasca bergulirnya reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, melahirkan dua partai politik.

Namanya politik Bung!

Efek domino modus politik Nasional yang melegitimasi kudeta konstitusional semakin terlacak, terdeteksi, terendus.

Pertama. Menjadikan waktu efektif jabatan kepala negara hanya di awal paruh periode. Masa transisi di tengah periode. Kalkulasi politik sudah terang benderang. Siapa harus makan siapa. Siapa diumpankan, dikorbankan untuk bisa melaju ke periode kedua. Akhir paruh periode menjadi tahun konsolidasi aneka sumber daya. Nilai tukar presiden menentukan nilai tukar Rp.

Kedua. Parpol yang tak punya jago yang siap laga di pilpres. Malah pasang tarif dukungan. Barter politik terjadi dengan seksama dan tanpa rasa malu. Koalisi menjadi bentuk nyata kawanan parpolis untuk menguatkan saraf dan syahwat politik. Dukungan satu suara ada nilai dunianya. Bisa menentukan keseimbangan. Modus lawas dengan DPT ganda. Atau ada ‘mufakat untuk mufakat’ di TPS. Tak terelakkan intimidasi politik.

Dua pokok ujaran tertulis di atas, lalu dimana konstribusi partai politik Islam. Selain dua parpol Islam yang sudah disiratkan. Politik Islam adalah pemikiran dan tindakan nyata. Bukan mengutamakan wadah pergerakan yang multiguna. Ujung-ujungnya malah menjadi kendaraan tempur. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar