Koruptor, si Pengkhianat
Negara
Pertimbangan atas ditetapkannya UU 30/2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi antara lain bahwa korupsi telah merugikan
keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.
Korupsi secara hukum dipandang sebagai kejahatan
luar biasa (extra ordinary crime). Tampak biasa-biasa saja jika pelaku tipikor
didominasi oleh oknum yang lahir dari rahim partai. Atau oknum penguasa, penyelenggara
negara. Upaya yang tampak luar biasa, sinerjitas aparat penegak hukum, untuk
memberantasnya, belum memberi efek jera.
Pedang Dewi Keadilan mengarah ke duduk perkara. Dalam
arti siapa pihak yang duduk berperkara, menjadi tersangka. Bukan pasal hukum
yang dilanggar. Semakin kuat, kuasa, kaya si tersangka, akan menentukan
skenario peradilan dan pengadilan.
Dukungan semua komponen anak bangsa pribumi yang
memposisikan korupsi sebagai musuh bersama (common enemy), dalam arti
angka kejahatan korupsi akan surut jika timbul kesadaran masyarakat (marginal
detterence). Masalahnya, kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran
hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah memadai.
Dampak tipikor tidak seperti dampak tindak pidana
teroris (a.l hilangnya nyawa tanpa memandang korban, ketakutan masyarakat
secara luas, dan kerugian harta benda) maupun dampak kinerja bandar penjual,
pengedar narkoba (merusak generasi yang belum lahir).
Tak heran, di mata hukum, jika pasca pidana penjara,
hukuman denda atau dimiskinkan, mantan napi tetap eksis. Apalagi jika pembela hukumnya,
sudah membela secara luar biasa. Ingat norma reliji, tipikor adalah
mengkhianati dirinya sendiri.
Sudah saatnya pemerintah menetapkan bahwa koruptor
adalah pengkhianat negara. Stigma ini diharapkan membuat efek jera. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar