Halaman

Jumat, 07 September 2018

Koruptor, si Pengkhianat Negara


Koruptor, si Pengkhianat Negara

Pertimbangan atas ditetapkannya UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi antara lain bahwa korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.

Korupsi secara hukum dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Tampak biasa-biasa saja jika pelaku tipikor didominasi oleh oknum yang lahir dari rahim partai. Atau oknum penguasa, penyelenggara negara. Upaya yang tampak luar biasa, sinerjitas aparat penegak hukum, untuk memberantasnya, belum memberi efek jera.

Pedang Dewi Keadilan mengarah ke duduk perkara. Dalam arti siapa pihak yang duduk berperkara, menjadi tersangka. Bukan pasal hukum yang dilanggar. Semakin kuat, kuasa, kaya si tersangka, akan menentukan skenario peradilan dan pengadilan.

Dukungan semua komponen anak bangsa pribumi yang memposisikan korupsi sebagai musuh bersama (common enemy), dalam arti angka kejahatan korupsi akan surut jika timbul kesadaran masyarakat (marginal detterence). Masalahnya, kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah memadai.

Dampak tipikor tidak seperti dampak tindak pidana teroris (a.l hilangnya nyawa tanpa memandang korban, ketakutan masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda) maupun dampak kinerja bandar penjual, pengedar narkoba (merusak generasi yang belum lahir).

Tak heran, di mata hukum, jika pasca pidana penjara, hukuman denda atau dimiskinkan, mantan napi tetap eksis. Apalagi jika pembela hukumnya, sudah membela secara luar biasa. Ingat norma reliji, tipikor adalah mengkhianati dirinya sendiri.

Sudah saatnya pemerintah menetapkan bahwa koruptor adalah pengkhianat negara. Stigma ini diharapkan membuat efek jera. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar