fakta dibalik anak-anak
bermain di masjid
Namanya anak, kelakukannya dimana saja tak jauh beda, terutama saat menggerombol.
Bahkan tak pandang gender. Komunitas anak bersepeda tampak dominan, mudah
pindah tempat. Memilih lokasi tertentu sebagai tempat kumpul. Mereka tampak
bahagia, merdeka dan akrab. Ngobrol sambil tangan sibuk otak-atik HP.
Di lingkungan tempat tinggal kami, komunitas anak-anak ada yang memilih
masjid sebagai tempat berkumpul. Daya tarik masjid di kompleks kami, masih
dalam proses pembangunan dan renovasi, karena dua lantai. Mihrab ada di lantai
dasar/pertama. Saatnya sholat lima waktu, tak pernah sepi dari anak yang
sholat. Pertanda cinta masjid sudah tertanam di jiwa anak.
Ironisnya, anak yang bermain di masjid waktu sholat sedang ditegakkan,
berusia sudah wajib sholat. Kondisi masjid di lantai pertama, tiap pojok
dipasang ac almari, bak laron mengerubungi lampu neon. Anak usia wajib sholat,
memang ada yang berbusana untuk sholat, ada yang modal sarung itupun untuk
mainan, atau hanya bercelana pendek. Sholat maghrib dan isya’ menjadi waktu
favorit anak untuk bermain di masjid. Komitmen jamaah membiarkan anak, jangan
dilarang, tetap dinasihati. Masalahnya, anak yang datang dari berbagai
komunitas, seolah ada pembagian waktu. Anak bongsor atau anak didik setingkat
SMP tak mau ketinggalan.
Kata marbot, ternyata sebagian besar anak yang bermain di masjid, walau
juga ikut berjamaah, orang tuanya tidak ke masjid. Tepatnya bukan jamaah masjid.
Mungkin karena kesibukkan mencari nafkah. Anak pulang sekolah, tidak menemukan
ibunya di rumah, dengan mudah mereka mencari kesibukan di luar rumah. Kalau
anak yang ikut TPA, sudah memahami tata tertib di masjid. Anak perempuan ada
juga yang menjadi jamaah. Keluarga muda, membawa anaknya yang belum masuk wajib
sholat, ke masjid. Sebagai pengenalan sejak dini. Atau ada yang membawa
cucunya.
Singkat kata, kesibukan orang tua yang sedemikian sibuk, sehingga tidak
sempat mengajak anaknya ke masjid, atau minimal diikutkan TPA, berdampak yang
tidak bias dianggap sederhana. Pendidikan agama dimulai dari rumah tangga.
Orang tua sebagai panutan. Rumah tinggal yang dihuni sebuah keluarga menjadi
multifungsi. Menjadi sekolah dan madrasah pertama bagi anak. Menjadi beteng
akhlak keluarga, sehingga anak siap terjun ke masyarakat. [HaeN]