hidup, sesuai ukuran
kaki dan kapasitas diri
Kita mulai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi RI 13/2012 tentang komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian
kebutuhan hidup layak, di Pasal 1 ayat 1 menjelaskan :
Kebutuhan hidup layak yang selanjutnya disingkat KHL
adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak
secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.
Hidup layak,
hidup sederhana, kencangkan ikat pinggang menjadi subyek kebijakan pemerintah.
Keterkaitannya tidak dengan penyediaan lapangan kerja yang layak oleh
pemerintah, tetapi ke arah pemanfaatan upah/penghasilan per bulan agar pas
untuk hidup sebulan.
UU 13 /2011 tentang Penanganan
Fakir Miskin, menjelaskan melalui Pasal 1, ayat :
1.
Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber
mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
2.
Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan
berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat
dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi
untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
3.
Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
Bagi yang masih lajang, persoalan hidup seolah ditanggung sendiri, menjadi
tanggung jawab individu. Masih mempunyai seperangkat kebebasan untuk
bermanuver, mencari tambahan, menambah upaya sampingan yang produktif serta
mengenyampingkan waktu yang berharga.
Penduduk yang sudah berkeluarga, pasangan keluarga baru, pasangan suami
isteri, maka rumus ekonomi yang sederhana pun, mau tak mau, harus dipraktikkan
dengan bijak, cerdas, dan menerus. Jurus dasar yang dipakai adalah
pintar-pintar memutar uang keluarga untuk berbagai kebutuhan keluarga pas satu
bulan. Syukur masih ada yang bisa disisihkan untuk disimpan, sebagai jaga-jaga
jika ada keperluan tak terduga, kebutuhan mendadak di luar jalur.
Kepedulian pemerintah, tepatnya pengendusan lembaga keuangan untuk
memanfaatkan momentum ini memang sangat piawai. Muncul rumus “BTN” yaitu Beli,
Tapi Nyicil. Semula masuk kategori barang mewah, berkadar konsumtif tinggi,
karena diramu dengan rumusan “BTN” menjadi terjangkau Uang Muka-nya. Soal tagihan
angsuran, sudah menjadi rahasia umum.
Ironis, dari keluarga sederhana, remajanya tampil gaul, trendy. Tentunya
dengan budaya serba instan. Menjadikan generasi kurang tahan banting. Memakai
hukum ekonomi burung, pagi terbang uber rezeki, sore pulang menenteng segepok
Rp. Kalau ada semangat gotong royong, tidak seperti semut. Tidak bisa rangkap
jabatan seperti penyelenggara negara, mereka pakai jurus sekali sabet, 2-3 usaha
masuk kantong.
Lapangan kerja, kesempatan kerja, peluang kerja, seolah menjadi tanggung
jawab individu rakyat.
UU 39/1999 tentang
Hak Asasi Manusia, menyuratkan di :
BAB III
HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIA
Bagian Kesatu
Hak untuk Hidup
Pasal 9
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak tenteram, aman, damai,
bahagia, sejahtera lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
Bagimana
kita menyikapi dan memaknai semua urusan hidup, terlebih sudah dijabarkan dalam
pasal produk hukum yang bersifat dinamis, berpulang dan yergantung pada konsep
kehidupan masing-masing keluarga.
Pemerintah
dengan langkah cerdasnya yang tak bisa melepaskan diri dari berbagai tekanan
internasional, acap malah melegalkan segala bentuk racun kehidupan. Jadi, tidak
hanya seolah melindungi madu kehidupan, yang memang menjadi tanggung jawab
hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
UU 39/1999,
Pasal 38 ayat (4) menyuratkan :
Setiap
orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan
martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya
dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.
Kalau
dibeberkan betapa ‘hidup’ yang tak sekedar hidup, selain menyangkut semua aspek
kehidupan, juga dengan pendekatan dari atas ke bawah. Apakah rakyat hidup harus disuapi oleh
pemerintah setiap hari, ataukah sudah dicekoki dengan pasal serba hidup, malah
ketagihan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar