Halaman

Kamis, 12 Mei 2016

hidup, sesuai ukuran kaki dan kapasitas diri

hidup, sesuai ukuran kaki dan kapasitas diri

Kita mulai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI 13/2012 tentang komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak, di Pasal 1 ayat 1 menjelaskan :
Kebutuhan hidup layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.

Hidup layak, hidup sederhana, kencangkan ikat pinggang menjadi subyek kebijakan pemerintah. Keterkaitannya tidak dengan penyediaan lapangan kerja yang layak oleh pemerintah, tetapi ke arah pemanfaatan upah/penghasilan per bulan agar pas untuk hidup sebulan.

UU 13 /2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, menjelaskan melalui Pasal 1, ayat :
1.        Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
2.        Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
3.        Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.

Bagi yang masih lajang, persoalan hidup seolah ditanggung sendiri, menjadi tanggung jawab individu. Masih mempunyai seperangkat kebebasan untuk bermanuver, mencari tambahan, menambah upaya sampingan yang produktif serta mengenyampingkan waktu yang berharga.

Penduduk yang sudah berkeluarga, pasangan keluarga baru, pasangan suami isteri, maka rumus ekonomi yang sederhana pun, mau tak mau, harus dipraktikkan dengan bijak, cerdas, dan menerus. Jurus dasar yang dipakai adalah pintar-pintar memutar uang keluarga untuk berbagai kebutuhan keluarga pas satu bulan. Syukur masih ada yang bisa disisihkan untuk disimpan, sebagai jaga-jaga jika ada keperluan tak terduga, kebutuhan mendadak di luar jalur.

Kepedulian pemerintah, tepatnya pengendusan lembaga keuangan untuk memanfaatkan momentum ini memang sangat piawai. Muncul rumus “BTN” yaitu Beli, Tapi Nyicil. Semula masuk kategori barang mewah, berkadar konsumtif tinggi, karena diramu dengan rumusan “BTN” menjadi terjangkau Uang Muka-nya. Soal tagihan angsuran, sudah menjadi rahasia umum.

Ironis, dari keluarga sederhana, remajanya tampil gaul, trendy. Tentunya dengan budaya serba instan. Menjadikan generasi kurang tahan banting. Memakai hukum ekonomi burung, pagi terbang uber rezeki, sore pulang menenteng segepok Rp. Kalau ada semangat gotong royong, tidak seperti semut. Tidak bisa rangkap jabatan seperti penyelenggara negara, mereka pakai jurus sekali sabet, 2-3 usaha masuk kantong.

Lapangan kerja, kesempatan kerja, peluang kerja, seolah menjadi tanggung jawab individu rakyat.

UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyuratkan di :

BAB III
HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIA
Bagian Kesatu
Hak untuk Hidup
Pasal 9
(1)       Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2)       Setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
(3)       Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Bagimana kita menyikapi dan memaknai semua urusan hidup, terlebih sudah dijabarkan dalam pasal produk hukum yang bersifat dinamis, berpulang dan yergantung pada konsep kehidupan masing-masing keluarga.

Pemerintah dengan langkah cerdasnya yang tak bisa melepaskan diri dari berbagai tekanan internasional, acap malah melegalkan segala bentuk racun kehidupan. Jadi, tidak hanya seolah melindungi madu kehidupan, yang memang menjadi tanggung jawab hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

UU 39/1999, Pasal 38 ayat (4) menyuratkan :
Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.


Kalau dibeberkan betapa ‘hidup’ yang tak sekedar hidup, selain menyangkut semua aspek kehidupan, juga dengan pendekatan dari atas ke bawah.  Apakah rakyat hidup harus disuapi oleh pemerintah setiap hari, ataukah sudah dicekoki dengan pasal serba hidup, malah ketagihan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar