Halaman

Selasa, 31 Mei 2016

menakar kadar religi diri, duduk manis sampai hukum sebab-akibat



menakar kadar religi diri, duduk manis sampai hukum sebab-akibat

Menghadapi kenyataan hidup, banyak manusia mudah berkeluh kesah, fasih menggerutu dan mengumpat, gampang meratapi nasib, lancar menyalahkan keadaan. Lebih berani lagi, dengan enteng kata menyalahkan Allah, yang dianggap tidak adil, yang dituduh pilih kasih. Merasa sudah bekerja mati-matian, setengah mati bahkan ada yang mati beneran, seolah nasibnya tak berubah. Falsafah manusia punya rencana, Allah yang menentukan, sudah difahami sejak kecil. Praktiknya, manusia lebih percaya pada permintaan pasar, pada aturan main yang dibentuk oleh pemain pasar kehidupan.

Jika nasib berubah, malah sibuk membandingkan dengan melihat ke atas. Ke orang lain yang tampak lebih sukses. Teman senasib seperjuangan ada yang melaju, menyalip.menjadikan rasa hati tertantang. Yang nasibnya dulu berada di bawah, sesuai perjalanan waktu, perlahan dan pasti tahu-tahu berada di atas. Nuansa ini menjadikan manusia hatinya semakin meradang. Nyaris tak rela kalau orang lain nasibnya lebih baik dari dirinya.

Menyikapi takdir baik maupun takdir buruk, sebagian manusia bersikap pasrah, tanpa usaha, upaya dan ikhtiar. Tertanam dalam nalarnya, kalau takdirnya baik atau akan menjadi orang kaya, jalani hidup apa adanya. Nanti pada saatnya pasti akan kaya secara firnansial, lebih dari hidup berkecukupan. Mahzab duduk manis, menunggu malaikat pembawa rezeki liwat, banyak penggemar dan penganutnya. Tampak berupaya, jalan pintas dilakoni. Mendadak kaya. Tahu-tahu berurusan dengan KPK. Korelasi, hubungan timbal balik antara takdir baik maupun takdir buruk, menurut ilmu manusia, bisa digambarkan dalm bentuk kuadran. Orang mencoba membaca nasib liwat garis tangan, percaya pada garis keturunan, bisa tertebak perjalanan hidup seseorang. Ada yang bakat kaya, bertangan dingin, otak encer dan ringan jodoh. Ada yang susah keluar dari kungkungan tradisi keluarga miskin sejak nenek moyangnya.

Motivasi pernikahan pun menjadi sangat beragam dan dinamis. Memperbaiki garis keturunan, meningkatkan martabat keluarga sebagai pertimbangan orang tua zaman dulu. Atau mempertahankan silsilah “darah biru” zaman feodal mapun garis “darah biru” di era demokrasi yang sarat dengan gelar akademis.

Disebutkan, jika ada anak manusia yang sukses dunia, dengan tenang mengikrarkan bahwa semua yang diraih, berkat kerja kerasnya. Bekerja tak kenal lelah, tak kenal waktu, tak pandang tempat, sekaligus tak paham siapa sang pemberi rezeki. Mereka menganggap bahwa perjuangan hidup bersifat matematis, siapa berikhtiar tentu akan berhasil, mendapatkan hasil sesuai keinginan. Siapa menanam, nantinya akan memetik hasilnya, akan panen.

Kita berada ditengah-tengah, wajib usaha dan hasilnya hak preogratif Allah [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar