menakar kadar religi diri, duduk manis sampai hukum
sebab-akibat
Menghadapi kenyataan
hidup, banyak manusia mudah berkeluh kesah, fasih menggerutu dan mengumpat, gampang
meratapi nasib, lancar menyalahkan keadaan. Lebih berani lagi, dengan enteng kata
menyalahkan Allah, yang dianggap tidak adil, yang dituduh pilih kasih. Merasa
sudah bekerja mati-matian, setengah mati bahkan ada yang mati beneran, seolah
nasibnya tak berubah. Falsafah manusia punya rencana, Allah yang menentukan,
sudah difahami sejak kecil. Praktiknya, manusia lebih percaya pada permintaan
pasar, pada aturan main yang dibentuk oleh pemain pasar kehidupan.
Jika nasib berubah, malah
sibuk membandingkan dengan melihat ke atas. Ke orang lain yang tampak lebih sukses.
Teman senasib seperjuangan ada yang melaju, menyalip.menjadikan rasa hati
tertantang. Yang nasibnya dulu berada di bawah, sesuai perjalanan waktu, perlahan
dan pasti tahu-tahu berada di atas. Nuansa ini menjadikan manusia hatinya
semakin meradang. Nyaris tak rela kalau orang lain nasibnya lebih baik dari
dirinya.
Menyikapi takdir baik
maupun takdir buruk, sebagian manusia bersikap pasrah, tanpa usaha, upaya dan
ikhtiar. Tertanam dalam nalarnya, kalau takdirnya baik atau akan menjadi orang
kaya, jalani hidup apa adanya. Nanti pada saatnya pasti akan kaya secara
firnansial, lebih dari hidup berkecukupan. Mahzab duduk manis, menunggu
malaikat pembawa rezeki liwat, banyak penggemar dan penganutnya. Tampak
berupaya, jalan pintas dilakoni. Mendadak kaya. Tahu-tahu berurusan dengan KPK.
Korelasi, hubungan timbal balik antara takdir baik maupun takdir buruk, menurut
ilmu manusia, bisa digambarkan dalm bentuk kuadran. Orang mencoba membaca nasib
liwat garis tangan, percaya pada garis keturunan, bisa tertebak perjalanan
hidup seseorang. Ada yang bakat kaya, bertangan dingin, otak encer dan ringan
jodoh. Ada yang susah keluar dari kungkungan tradisi keluarga miskin sejak
nenek moyangnya.
Motivasi pernikahan pun
menjadi sangat beragam dan dinamis. Memperbaiki garis keturunan, meningkatkan martabat
keluarga sebagai pertimbangan orang tua zaman dulu. Atau mempertahankan
silsilah “darah biru” zaman feodal mapun garis “darah biru” di era demokrasi
yang sarat dengan gelar akademis.
Disebutkan, jika ada
anak manusia yang sukses dunia, dengan tenang mengikrarkan bahwa semua yang
diraih, berkat kerja kerasnya. Bekerja tak kenal lelah, tak kenal waktu, tak pandang
tempat, sekaligus tak paham siapa sang pemberi rezeki. Mereka menganggap bahwa
perjuangan hidup bersifat matematis, siapa berikhtiar tentu akan berhasil,
mendapatkan hasil sesuai keinginan. Siapa menanam, nantinya akan memetik
hasilnya, akan panen.
Kita berada
ditengah-tengah, wajib usaha dan hasilnya hak preogratif Allah [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar