Indonesia dalam jebakan tri-GP :
gagap politik, galau politik, gagal politik
Menonton
pagelaran wayang kulit semalam suntuk memang membosankan. Dalang kondangpun
akan mengalami nasib sama, jika tidak bisa mengembangkan ide cerita yang baku.
Tanpa kesepakatan tertulis, apalagi kompromi berbau, bernuansa, berbasis
politik, para dalang menyisipkan adegan goro-goro.
Justru adegan goro-goro
yang muncul di tengah malam, sangat dinantikan oleh penggemar wayang kulit. Kajian
akademis, bahkan tema pagelaran wayang kulit sebagai bahan skripsi, tesis
ataupun disertasi perguruan tinggi yang masih menjunjung tinggi budaya lokal
berskala nasional.
Bahasa klisé yang malah mudah
diserap dan dicerna, diimbangi bahasa sesuai karakter tokoh wayang yang
terkadang sarat sindiran, disajikan dengan gaya guyon parikeno.
Ironisnya, yang tersindir malah merasa tersanjung. Apalagi menyangkut panggung
politik. Hampir semua karakter tokoh wayang kulit yang mewakili watak pekerja
politik. Tepatnya, malah karakter tokoh wayang kalah bersaing dengan watak
pemain, pelaku, pekerja politik.
Panggung
politik Indonesia tidak pernah menjemukan untuk ditonton. Badut politik sampai
serigala politik selalu muncul di acara goro-goro. Atau karena jarang
diliput media massa berbayar, atau harus antri, atau kalah pamor, akhirnya ada
yang nekat membuat goro-goro sendiri. Adegan, acara, atraksi malah
didominasi goro-goro. Setiap tokoh politik muncul di layar kaca, hanya
sekedar jual tampang tanpa makna. Minimal muncul ocehannya di running text.
Muncul di media daring klas kambing, setelah kejadian perkara dilupakan.
Pagelaran wayang kulit satu periode 2014-2019 membuat orang mentertawakan diri sendiri. Bahasa yang dipakai antara makna menghujat dengan makna menjilat nyaris tidak ada bedanya. Mentertawakan kekonyolan diri. Mentertawakan diri sendiri bahwa dia tahu kenapa harus tertawa. Memang tertawa itu sehat dan menyehatkan. [HaeN]
Pagelaran wayang kulit satu periode 2014-2019 membuat orang mentertawakan diri sendiri. Bahasa yang dipakai antara makna menghujat dengan makna menjilat nyaris tidak ada bedanya. Mentertawakan kekonyolan diri. Mentertawakan diri sendiri bahwa dia tahu kenapa harus tertawa. Memang tertawa itu sehat dan menyehatkan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar