Halaman

Senin, 30 April 2018

hanya butuh medali dan gengsi


hanya butuh medali dan gengsi

Jika aroma irama syahwat politik sudah merasuki jiwa anak bangsa pribumi, maka langkah apa pun akan ditempuh. Aneka “pengorbanan” akan dilakukan dengan yakin diri. Direkayasa asal tampak konstitusional jika pelakunya adalah penguasa.

Harga diri bangsa tidak hanya dipertaruhkan. Bisa dikorbankan demi sebentuk “wibawa” negara.

Berkemajuan bangsa Indonesia yang semula menganut asas ABS (asal bapak senang) menjadi BSA (bapak senang asal-asalan). Soal nasib rakyat, bukan urusan negara. Kan rakyat sudah dewasa. Sudah bisa mandiri. Tidak perlu disuapi lagi. Justru penguasa atau penyelenggara yang masih butuh “suap”-an.

“Makan ‘tu gengsi, sampai neg ‘kumelihat”, ujar pahlawan tak dikenal dari alamnya.

Di pihak lain, atlit Nusantara berjibaku meraih bonus di balik medali.

Pasca pesta demokrasi yang diisi adu sportivitas anatar negara se-Asia, tepuk tangan masih menderu. Kebanyakan tepuk tangan mengingatkan akan janji politik tuan rumah. Kursi-kursi sudah dirapikan. Masuk kotak. Namun masih ada satu kursi tersisa. Milik siapa. [HaèN]

mengolahragakan politik vs mempolitikkan olahraga


mengolahragakan politik vs mempolitikkan olahraga

Secara awam, apa mungkin raksasa olahraga mengalah dengan “keperkasaan” tuan rumah. Modus politik sebagai alasan mendasar. Dalih demi kepentingan, kebutuhan negara maka atlit sepertinya agak mengalah jika berjumpa dengan tuan rumah. Terlebih di babak final.

Tuan rumah butuh medali. Itu saja.

Transaksi sudah, sedang dan akan bergulir. Masuknya TKA dari negara berpopulasi terbanyak di dunia, berkat dukungan pemerintah ‘tuan rumah’. Belum terbilang mereka yang sudah bercokol sejak zaman Kompeni. Sama-sama menjalankan politik dagang vs dagang politik.

Demi wibawa negara, sebagai umpan atau kesempatan pihak asing untuk meng-“goreng”-nya. Tak heran, penyelenggara negara yang tampil dengan pola garang-garing. Menghadapi bangsa dhèwèk yang berseberangan, tampak gagah perkasa.

Namun saat menghadapi senyum naga, mendadak menjadi anak manis. Penurut. Siap menerima asupan dan suapan. [HaèN]

Minggu, 29 April 2018

Mengalah atau Kirim Atlit Klas II


Mengalah atau Kirim Atlit Klas II

Indonesia sedang besar hidung, karena jadi tuan rumah pesta olahraga tingkat Asia. Sebagai tuan rumah berharap banyak dengan perolehan medali. Main di kandang sendiri, dengan dukungan penonoton yang mayoritas bangsa dhèwèk.

Berbarengan dengan tahun politik 2018. Pasti ada maunya. Ada konspirasi yang tetap menjunjung tinggi sportivitas. Moto olahraga yaitu yang mendapat mendali terbanyak, akan jadi juara umum. Belum tentu. Raihan medali emas jadi penentu.

Gelanggang, lapangan, venue atau sebutan lainnya, memang bukan kotak suara. Namanya politik olahraga vs olahraga politik, di negara maju yang banyak utang luar negeri, skore atau hasil akhir bisa diatur.

Masalahnya, tentu ada rasa sungkan, segan, enggan, éwuh pakéwuh, tepo sliro negara peserta dengan keramahtamahan tuan rumah. Bisa-bisa bisa terjadi asas sendiko dawuh akan terjadi.

Karena harga diri, martabat, wibawa negara peserta yang tak kenal kompromi. Olahraga tetap olahraga. Politik tetap politik. Mau mengandalkan pasal wani piro. Duwité mbahmu.

Pasca pesta olahraga, bagaimana nasib fasilitas yang sudah dibangun. Bukan urusan rakyat. Atlit tuan rumah akan dapat bonus sesuai perolehan medali. Juga bukan konsumsi rakyat untuk mengolahnya. Semua sudah ada aturan main.

Yang masih bisa dilakukan rakyat, cukup berdoa dan mendoakan agar pesta sukses. Peserta asing pulang dengan rasa puas berlipat. Bisa untuk bahan cerita ke anak cucu. Khususnya sikap ramah, rendah hati, sopan tindak tuan rumah. [HaèN]

pejah gesang ndèrèk langkung


pejah gesang ndèrèk langkung

Tak ada hubungannya dengan moto kerja PLN yang nyaris berlaku di setiap periode, yaitu ‘byaar, pet’. Secara ekonomis, belum ada hasil survei yang menjelaskan, kalau listrik mati 1 menit, apa dampak terukurnya. Rugikah? Untungkah?

Kalau untung tentu akan diam saja. Kalau merasa dirugikan akibat ‘pencurian listrik’ oleh pelanggan, akan tersengat. Tunggu, kalau yang curi ternyata usaha industri skala multinasional, milik pengusaha asing, ditanggung PLN akan mati berdiri.

Utang luar negeri akan semangkin membengkak tergantung nilai tukar Rp. Ada rumus sederhananya.

Jadi, justru penguasa doyan dengan hal yang baru; gemar dengan rasa asing; suka akan model aneh, maupun tak pikir panjang dengan hal-hal yang ajaib.

Zaman Orde Lama, ada semboyan heroik milik loyalis, “pejah gesang ndèrèk BK”. Lebih diformalkan menjadi “siap berdiri paling depan di belakang BK”.

Efek domino terasa pada arus masuk TKA yang berpenampilan sebagai wisatawan asing, masuk bebas visa untuk kunjungan kerja. [HaèN]