hanya butuh medali
dan gengsi
Jika aroma irama syahwat
politik sudah merasuki jiwa anak bangsa pribumi, maka langkah apa pun akan
ditempuh. Aneka “pengorbanan” akan dilakukan dengan yakin diri. Direkayasa asal
tampak konstitusional jika pelakunya adalah penguasa.
Harga diri bangsa tidak
hanya dipertaruhkan. Bisa dikorbankan demi sebentuk “wibawa” negara.
Berkemajuan bangsa
Indonesia yang semula menganut asas ABS (asal bapak senang) menjadi BSA (bapak
senang asal-asalan). Soal nasib rakyat, bukan urusan negara. Kan rakyat sudah dewasa.
Sudah bisa mandiri. Tidak perlu disuapi lagi. Justru penguasa atau
penyelenggara yang masih butuh “suap”-an.
“Makan ‘tu gengsi,
sampai neg ‘kumelihat”, ujar pahlawan tak dikenal dari alamnya.
Di pihak lain, atlit
Nusantara berjibaku meraih bonus di balik medali.
Pasca pesta demokrasi
yang diisi adu sportivitas anatar negara se-Asia, tepuk tangan masih menderu. Kebanyakan
tepuk tangan mengingatkan akan janji politik tuan rumah. Kursi-kursi sudah dirapikan.
Masuk kotak. Namun masih ada satu kursi tersisa. Milik siapa. [HaèN]