saat jidat rata bumi dan
merapat ke bumi
Fitrah manusia adalah berterima
kasih kepada kedua orang tua, yang telah menjadikannya lahir dan berada di muka
bumi. Lanjut dengan rasa syukur kepada Yang Maha Pencipta (Al Khaliq).
Nilai normatif syukur, secara umum
dengan ucap lafadz hamdallah sampai syukur nikmat. Kita ucap terima kasih atas
pemberian orang lain. Apalagi kepada-Nya. Dimanapun, dalam keadaan apapun kita
wajib bersyukur. Sangat bersyukur ketika sedang menerima nikmat-Nya.
Indeks rasa syukur, bukannya tak ada.
Rukun, adab, adat, tata cara, SOP syukur sudah tersurat maupun tersirat di Al
Qur’an maupun sunnah Rasul. Artinya, bersyukur, ada ilmunya.
Kemanfaatan rasa syukur, adalah agar
kita nantinya niat dan akan berbuat lebih baik, lebih benar. Bukan masalah
timbal balik dengan Allah, justru berinteraksi dengan diri sendiri.
Rasa syukur bukan sekedar
formalitas. Pelengkap ibadah. Justru sebagai ibadah yang nilainya menentukan. Semakin
kita bersyukur, semakin kita merasakan tak berartinya diri kita dihadapan Yang
Maha Pembuka Rahmat (Al Fattaah).
Gerakan ritual sholat fardhu 5
(lima) waktu maupun sholat sunnah, merupakan perpaduan, hormonisasi, sinergitas
jiwa-raga, lahir-batin, jasmani-ruhani. Acara lapor diri, komunikasi melalui
siaran langsung dengan Yang Maha Menghidupkan (Al Muhyii).
Mengacu manfaat rangkaian gerakan
fisik sholat, memang bersifat dinamis. Artinya tidak hanya itu. Pengalaman orang
lain patut kita jadikan renungan. Pengalaman diri sendiri, lebih menuju mencari
kekurangan sekaligus menyempurnakannya.
Gerak dan posisi ruku’ dan/atau
sujud, masuk kemasan bagaimana kita memberlakukan kepala. Yang lebih banyak
dipakai untuk menegakkan badan. Sombong begitu. Badan kecil tapi jalan
digagah-gagahkan, biar tampak wibawa. Mahkota tanda kebesaran kekuasaan,
dipasang di atas kepala. Semakin menambah rasa percaya diri. Ditambah tongkat
komando. Seakan dunia tunduk.
Betapa kepala harus ditundukkan. Lebih
tunduk dari rasa hormat. Sampai badan, punggung rata-rata air. Mata memandang
bumi. Sambil berucap doa. Rasanya, posisi kepala menjadi selevel dengan pantat.
Apa arti kepala saat itu. Apanya yang masih bisa disombongkan, dibanggakan. Sebesar
apapun mahkota, tak berarti apa-apa.
Saat kita sujud, dengan dahi dan
ujung hidung (dihitung satu titik) menyentuh bumi. Diletakkan pelan. Bobot kepala
dibantu oleh dua telapak tangan. Posisi kepala menjadi lebih rendah daripada
letak pantat. Dahi jangan terhalang tutup kepala. Bayangkan saja kawan, kepala
yang begitu mulia, “direndahkan” secara fisik sebagai bukti ketertundukkan umat
manusia kepada Yang Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan (Dzul Jalaali Wal Ikraam).
Usai ucap dan gerak salam ke kanan dan
ke kiri. Menengok lingkungan sekitar. Kepala kembali normal usai ritual sholat.
Masih ada tahapan yang perlu disempurnakan. Kepala tunduk, dua telapak tangan
dibuka ke atas. Panjatkan doa. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar