Halaman

Selasa, 03 April 2018

saat jidat rata bumi dan merapat ke bumi


saat jidat rata bumi dan merapat ke bumi

Fitrah manusia adalah berterima kasih kepada kedua orang tua, yang telah menjadikannya lahir dan berada di muka bumi. Lanjut dengan rasa syukur kepada Yang Maha Pencipta (Al Khaliq).

Nilai normatif syukur, secara umum dengan ucap lafadz hamdallah sampai syukur nikmat. Kita ucap terima kasih atas pemberian orang lain. Apalagi kepada-Nya. Dimanapun, dalam keadaan apapun kita wajib bersyukur. Sangat bersyukur ketika sedang menerima nikmat-Nya.

Indeks rasa syukur, bukannya tak ada. Rukun, adab, adat, tata cara, SOP syukur sudah tersurat maupun tersirat di Al Qur’an maupun sunnah Rasul. Artinya, bersyukur, ada ilmunya.

Kemanfaatan rasa syukur, adalah agar kita nantinya niat dan akan berbuat lebih baik, lebih benar. Bukan masalah timbal balik dengan Allah, justru berinteraksi dengan diri sendiri.

Rasa syukur bukan sekedar formalitas. Pelengkap ibadah. Justru sebagai ibadah yang nilainya menentukan. Semakin kita bersyukur, semakin kita merasakan tak berartinya diri kita dihadapan Yang Maha Pembuka Rahmat (Al Fattaah).

Gerakan ritual sholat fardhu 5 (lima) waktu maupun sholat sunnah, merupakan perpaduan, hormonisasi, sinergitas jiwa-raga, lahir-batin, jasmani-ruhani. Acara lapor diri, komunikasi melalui siaran langsung dengan Yang Maha Menghidupkan (Al Muhyii).

Mengacu manfaat rangkaian gerakan fisik sholat, memang bersifat dinamis. Artinya tidak hanya itu. Pengalaman orang lain patut kita jadikan renungan. Pengalaman diri sendiri, lebih menuju mencari kekurangan sekaligus menyempurnakannya.

Gerak dan posisi ruku’ dan/atau sujud, masuk kemasan bagaimana kita memberlakukan kepala. Yang lebih banyak dipakai untuk menegakkan badan. Sombong begitu. Badan kecil tapi jalan digagah-gagahkan, biar tampak wibawa. Mahkota tanda kebesaran kekuasaan, dipasang di atas kepala. Semakin menambah rasa percaya diri. Ditambah tongkat komando. Seakan dunia tunduk.

Betapa kepala harus ditundukkan. Lebih tunduk dari rasa hormat. Sampai badan, punggung rata-rata air. Mata memandang bumi. Sambil berucap doa. Rasanya, posisi kepala menjadi selevel dengan pantat. Apa arti kepala saat itu. Apanya yang masih bisa disombongkan, dibanggakan. Sebesar apapun mahkota, tak berarti apa-apa.

Saat kita sujud, dengan dahi dan ujung hidung (dihitung satu titik) menyentuh bumi. Diletakkan pelan. Bobot kepala dibantu oleh dua telapak tangan. Posisi kepala menjadi lebih rendah daripada letak pantat. Dahi jangan terhalang tutup kepala. Bayangkan saja kawan, kepala yang begitu mulia, “direndahkan” secara fisik sebagai bukti ketertundukkan umat manusia kepada Yang Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan (Dzul Jalaali Wal Ikraam).

Usai ucap dan gerak salam ke kanan dan ke kiri. Menengok lingkungan sekitar. Kepala kembali normal usai ritual sholat. Masih ada tahapan yang perlu disempurnakan. Kepala tunduk, dua telapak tangan dibuka ke atas. Panjatkan doa. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar