fanatisme politik,
kultus individu vs kacamata kuda
Di NKRI, penyakit sejarah selalu
berulang. Aneka tragedi politik datang silih berganti. Biang kerok, dalang
gonjang-ganjing politik tampak antri. Pemain lama tak pernah ada kapoknya.
Terasa nyata di pasca reformasi yang bergulir mulai dari puncaknya, 21 Mei
1998.
Agar tampak nyata, apa itu kultus
individu. Simak hal berikut : Kultus individu[1] atau pemujaan kepribadian
(bahasa Inggris: Cult of personality) muncul ketika
seseorang menggunakan media massa, propaganda, atau metode lain untuk
menciptakan figur ideal atau pahlawan,[2] seringkali melalui pujian yang
berlebihan. Pemujaan kepribadian banyak ditemui dalam negara dengan sistem
kediktatoran.
Rezim yang sering dianggap melakukan
pemujaan kepribadian adalah rezim Joseph Stalin (Uni Soviet), Adolf Hitler
(Jerman), Benito Mussolini (Italia), Mao Zedong (China), Nicolae Ceauşescu
(Rumania), Saparmurat Niyazov (Turkmenistan), Ho Chi Minh (Vietnam), Soekarno
(Indonesia), Fidel Castro (Kuba), Muammar Gaddafi (Libya), Mobutu Sese Seko
(Zaire, sekarang Republik Demokratik Kongo), Kim Il-Sung dan anaknya, Kim
Jong-Il (Korea Utara). Sumber : http://kepribadian.suryadarma.web.id/ . . )
Masih sekitar Indonesia. Warisan
besar leluhur berupa kepercayaan berbasis animisme dan atau dinamisme masih
terasa kental di kancah politik. Berhala reformasi berupa 3K (kaya, kuat,
kuasa) menjadi ajang perebutan semua pihak.
Modus gerilya politik diformat resmi
menjadi pola fakta berbalut famorgana, fantasi, fanatik, fenomena politik.
Anomali lulusan kampus perguruan
tinggi, semula digadang siap kerja, siap pakai. Menjadi siap laga bela
penguasa. Apalagi jika ada satu almamater yang sedang berkibar. Serta merta,
tanpa komando, hanya satu skenario. Habis-habisan yang pendèrèk setia. Bilmana
perlu siap laku béla pati.
Sang loyalis berani pasang muka
badak, tanpa urat malu. Siaga 24 jam. Jangan sampai ada nyamuk, lalat, semut berani-berani
menyentuh kulit muka sang juragan.
Seolah ikatan moral politik lima
tahunan, menjadikan alumni merasa senasib sepenangungan. Soal bagaimana nasib
rakyat, itu soal nanti. Apesnya akan melahirkan frustasi politik.
Ujaran yang dipakai, bak
menterjemahkan makna kentut, “bahasa kentut yang ditulis”. Dengan aneka tanda
baca, simbol, lambang, singkatan. Antara yang modal dengkul, modal otot dengan
yang ahli karena kapasitas otak, akal, nalar, logika politik, sami mawon. Sudah dibutakan oleh
politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar