Halaman

Selasa, 24 April 2018

fanatisme politik, kultus individu vs kacamata kuda


fanatisme politik, kultus individu vs kacamata kuda

Di NKRI, penyakit sejarah selalu berulang. Aneka tragedi politik datang silih berganti. Biang kerok, dalang gonjang-ganjing politik tampak antri. Pemain lama tak pernah ada kapoknya. Terasa nyata di pasca reformasi yang bergulir mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998.

Agar tampak nyata, apa itu kultus individu. Simak hal berikut : Kultus individu[1] atau pemujaan kepribadian (bahasa Inggris: Cult of personality) muncul ketika seseorang menggunakan media massa, propaganda, atau metode lain untuk menciptakan figur ideal atau pahlawan,[2] seringkali melalui pujian yang berlebihan. Pemujaan kepribadian banyak ditemui dalam negara dengan sistem kediktatoran.

Rezim yang sering dianggap melakukan pemujaan kepribadian adalah rezim Joseph Stalin (Uni Soviet), Adolf Hitler (Jerman), Benito Mussolini (Italia), Mao Zedong (China), Nicolae Ceauşescu (Rumania), Saparmurat Niyazov (Turkmenistan), Ho Chi Minh (Vietnam), Soekarno (Indonesia), Fidel Castro (Kuba), Muammar Gaddafi (Libya), Mobutu Sese Seko (Zaire, sekarang Republik Demokratik Kongo), Kim Il-Sung dan anaknya, Kim Jong-Il (Korea Utara). Sumber : http://kepribadian.suryadarma.web.id/ . . )

Masih sekitar Indonesia. Warisan besar leluhur berupa kepercayaan berbasis animisme dan atau dinamisme masih terasa kental di kancah politik. Berhala reformasi berupa 3K (kaya, kuat, kuasa) menjadi ajang perebutan semua pihak.

Modus gerilya politik diformat resmi menjadi pola fakta berbalut famorgana, fantasi, fanatik, fenomena politik.

Anomali lulusan kampus perguruan tinggi, semula digadang siap kerja, siap pakai. Menjadi siap laga bela penguasa. Apalagi jika ada satu almamater yang sedang berkibar. Serta merta, tanpa komando, hanya satu skenario. Habis-habisan yang pendèrèk setia. Bilmana perlu siap laku béla pati.

Sang loyalis berani pasang muka badak, tanpa urat malu. Siaga 24 jam. Jangan sampai ada nyamuk, lalat, semut berani-berani menyentuh kulit muka sang juragan.

Seolah ikatan moral politik lima tahunan, menjadikan alumni merasa senasib sepenangungan. Soal bagaimana nasib rakyat, itu soal nanti. Apesnya akan melahirkan frustasi politik.

Ujaran yang dipakai, bak menterjemahkan makna kentut, “bahasa kentut yang ditulis”. Dengan aneka tanda baca, simbol, lambang, singkatan. Antara yang modal dengkul, modal otot dengan yang ahli karena kapasitas otak, akal, nalar, logika politik, sami mawon. Sudah dibutakan oleh politik. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar