Halaman

Kamis, 28 Februari 2019

Hak atas Kedaulatan Data Pribadi WNI Tergadaikan


Hak atas Kedaulatan Data Pribadi WNI Tergadaikan

Ramah investor, sah-sah saja. Bahkan konstitusional. Jika kalah langkah dengan masyarakat maupun swasta,  dalam menciptakan lapangan kerja. Maka pemerintah wajib memproteksi. Membuat payung hukum agar tidak ada pihak yang dirugikan. Jalannya usaha dimaksud menjadi terkendali dan terkontrol.

Masyarakat penggguna aktif internet nyaris semua umur produktif. Media digital menjadi sarana multiguna. Tergantung manusianya. Dampak anti-sosial, wajar. Kemanfaatan, efektivitas nilai guna produk TIK mempengaruhi kecerdasaan si pengguna.

Bukan hanya lapangan kerja, macam taksi motor. Pebisnis barang impor, pemodal kapital marak masuk menumpang kemudahan jaringan internet. Perusahaan rintisan alias start up. Didefinisikan sebagai perusahaan teknologi yang dinilai memiliki ide dan solusi tak biasa.

Info ringan saja. Start up unicorn di Nusantara antara lain Bukalapak, Gojek, Traveloka, dan Tokopedia. Tensi dan argo masalah terus melaju dalam hitungan menit.  Beberapa unicorn klas dunia, bahkan sudah 'naik kelas' dengan mengantongi status sebagai decacorn (valuasi US$10 miliar) dan hectocorn (valuasi US$100 miliar).

Masyarakat masih banyak yang gemar obral status di media dalam jaringan. Sistem aplikasi merupakan data terbuka. Rentan dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Hakikat data  sebagai privasi sekaligus sumber daya paling penting di era ekonomi digital. Dimungkinan profit paling besar mengalir ke  investor multinasional. Khsususnya pemodal semiglobal [HaéN]

budipekerti bangsa tergantung adab politik Nusantara


budipekerti bangsa tergantung adab politik Nusantara

Apalagi jilka merupoakan hasl kajian akademis. Bukan sekedar hasil survei tanpa survei. Kesimpulan atas jajag pendapat atau survei berbayar dengan metode hitung mundur. Judul di atas, menunjukkan betapa moral pelaku politik sampai tingkatan petugas partai sedemikan demikian-demikannya.

Budipekerti bukan hanya sifat internal dari diri manusia. meluas ke lingkungan atau alam. Pandangan hidup sampai susah hidup masyarakat Jawa meyakini. Jika andai manusia atau bangsa berada di lingkungan alam budi yang luhur, akan mewujudkan rasa kebajikan. Maunya mau berbuat baik apa saja. Pokoknya baik saja sudah cukup sebagai modal.

Bukan kodrati atau karakter bawaan. Kebanyakan orang budinya masih labil. Sudah kokoh namun masih ada daya rentan, riskan, risiko. Pemahaman atas apa itu pilitik, harus melalui cerita anak. Melalui penokohan sosok yang dianggap hero. Mewaklili kekurangan atau kelabilan diri.

Budipekerti yang bersifat universal, global tetap berada sejajar dengan kehidupan manusia. Manusia dengan dirinya selalu sibuk mencari hakikat hidup – sangkan paran dumadi – dan realitas jati diri, maupun wujud nyata eksistensi yang sejati.

Semula politik Nusantara berawal, berasal, bermula dari galian Pancasila.

Ketika bangsa Indonesia pasca Proklamasi mencari bentuk hubungan keterkaitan, kesalingan, interaksi maupun relasi timbal balik dengan negara lain. Daya cegah tangkal  didominasi rasa mengakomodir kepentingan semua pihak yang merasa berjasa.

Sebagai negara agraris. Utamakan doeloe P4T-nya. Bukan mau menanam apa. Tidak sesuai dengan syarat teknis, bisa-bisa malah sibuk cari lahan yang cocok. Galian bumi, sedotan laut yang katanya bisa mensejahterakan rakyat. Malah terdampak paparan asap program/kegiatan ‘karhutla’.

Kejadian peristiwa perkara terkait alam. Sampai-sampai alam yang semula ramah. Mampu mengingatkan manusia dan kemanusiaan ‘manusia politik’. Sampah politik berupa olok-olok politik bak bumerang, senjata makan tuan. Tidak hanya itu. Sampah politik global bak B3, menjadi menu utama anak bangsa primitive pribumi. [HaéN]

Rabu, 27 Februari 2019

Limbuk wurung dadi ratu, kulak tamak vs amuk massa


Limbuk wurung dadi ratu, kulak tamak vs amuk massa

Jauh waktu sebelum Islam masuk ke Nusantara. Animisme,  dinamisme menjadi pedoman hidup. Agama bumi ikut memantapkan kepercayaan akan adanya dalil ‘nasib besok tergantung nasib sekarang’.

Akrab gaul dengan alam. Menyerap modus binatang liar. Tak sengaja menemukan rumusan hidup bak peribahasa, “seburuh-buruk tupai melompat, lebih butuk manusia melompati nasibnya”. Nasib dalam batasan bahasa manusia.

sapa sing nandur, durung karuan tekan umur”. Paribasan oplosan, gado-gado. Tidak ada di kamus atau gak nyambung. Yang ahli mantuk-mantuk, ndumuk batuk cerna makna sambil tahan kantuk.

Perjalanan ‘nasib’ kaum bangsa Nusantara, acap disangsikan oleh diri sendiri. Efek domino penjajahan oleh bangsa lain terus bergulir. Taruhan pasang surut nasib.

Merasa diwasi roh leluhur. Merasa dipantau arwah bapak moyangnya. Keramahan alam, kemurahan hati lingkungan hidup sedemikan dimanfaatkan. Sehingga jika ada anak bangsa P4T-nya sedemikan untuk bisa mendaulat diri sebagai negara. Dianggap tak tanggap nasib rakyat yang beratapkan langit.

Sisi lain merasa kalau tak ada sentuhan belas kasih pihak asing. Apa arti hidup. Merasa kurang yakin diri. Hidup berat sebelah. Raga merdeka tapi jiwa terjajah. Demi peradaban berpembangunan nasional bermasa depan. Tak ada aib menerima bantuan tapi utang dari negara paling bersahabat. [HaéN]

Dasamuka turun gunung, perang total vs tawuran kolosal


Dasamuka turun gunung, perang total vs tawuran kolosal

Penyuka komik, cerita wayang. Pemirsa beberan wayang kulit. Penikmat pagelaran wayang orang. Menginspirasi budaya dan modus anak wayang Nusantara. Sosok rakyat yang nasibnya terlunta-lunta. Puas terwakili tokoh penumpas angkara murka. Bangga jika melihat pujaannya selalu menang perang tanding. Bukan model keroyokan. Apalagi perang kata, perang urat syaraf, sarat ujaran penistaan, kebodohan diri.

Bagi tokoh penguasa, semakin merasa digdaya jika punya ajian pamungkas. Merasa pilih tanding karena memegang senjata andalan. Merasa berwibawa karena hafal mantra politik.

Ramayana dan Mahabharata menjadi rujukan wayang. Tampilan disuaikan dengan budaya lokal. Karakter tokoh antar daerah, antar versi tak beda jauh. Beda jam terbang. Nama tokoh bisa dicomot sesuai nama orang yang menunjukkan suku, marga.

Jika terjadi perang. Bisa seperti manusia main catur. Asal Raja skak, perang tak berlarut-larut. Bidak hitam maupun bidak putih tak mewakili watak. Bisa juga perang akan surut jika sudah tidak ada lagi satria, petugas partai yang sigap libas lawan.

Perang ala wayang, tampak konvensional. Perajurit melawan serdadu. Senjata jarak jauh sudah dikenal. Lokasi perang ditentukan, bukan di jalanan. Malam hari untuk istirahat. Dukun pengkebal, pentebal muka sudah jamak. Tapabrata menjadi kisah sukses untu menjadi orang baik. Mirip masuk partai politik.

Agar terjadi episode. Bak “Buaya vs Cicak”. Peran tanding, siapa melawan siapa, menjadi menu utama. Dicarikan lawan yang seimbang. Yang belum berpengalaman, atau masih dalam masa diklat partai, karena turunan. Bisa turun ke palagan. Adu taktik antar pelatih.

Kapan perang berakhir. Ingat bak kapal laut terbakar. Maka petinggi kapal sebagai pihak terakhir yang menyelamatkan diri. Kalau mau. Secara protokoler, kondisi darurat, maka petugas partai diprioritaskan diselamatkan sejak dini. Tidak analog dengan tingkat kesejahteraan tujuan utama pembangunan.

Pakai acuan Rahwana. Ketika paman patih, panglima, jawara, jagoan, keluarga besar sudah masuk kotak. Bahkan petarung transfer atau tentara sewaan, sudah angkat bendera putih. Buang handuk. Mau tak mau, demi proses cerita. Rahwana maju perang.

Wayang Nusantara, ternyata Rahwana masih punya cadangan loyalis. Rekam jejak mereka di bidang pertahanan dan keamanan, menjadi harapan terakhir. Modus apa pun selama masih dalam satu periode, sah secara hukum dan konstitusional.

Beda pasal. Bukan siapa melawan siapa. Lebih ke penawaran bergensi, siapa sanggup mengalahkan siapa. NPWP sudah usang. Modal dengkul minta imbalan kursi. [HaéN]

Indonesia darurat akal sehat


Indonesia darurat akal sehat

Masuk akal. Profesi atau keahlian, keterampilan tangan  masyarakat papan bawah karena warisan, sebut saja pemulung. Persaingan walau sudah ada pembagian wilayah. Beroperasi antar bak sampah rumah tangga. Saat manusia masih sigap lelap malam.

Bungkus plastik isi sampah dapur, tetap digancu. Sudah ngablak bersaing dengan kucing, anjing, tikus. Beda target sasaran. Layaknya partai politik, atau minimal ormas. Pemulung mempunyai markas, bos pemulung. Agen ganda, merangkap pengepul B3.

Pemulung jelas tidak masuk kategori penyakit masyarakat. Produktivitas bersaing dengan anjal. Efektivitas tidak mampu bersaing dengan prostitusi artis online.

Secara umum, manusia sosial Nusantara melakoni hidup harian, tak perlu pikir. Semua tahapan dilakoni rutin, tipikal, seperti kemarin. Mengulangi adegan drama yang tak bisa dipercepat, dipadatkan waktunya. Kalau masih ada esok, tak perlu bersegera.

Meningkat atau bergeser ke modus manusia ekonomi dan manusia politik.

Manusia ekonomi, pengusaha lokal, multinasional, subglobal, jelas harus pandai main akal-akalan. Pakai dalil manusia politik, téga tidak téga harus mégatéga.

Bagamana dengan penggunaan akal pada manusia politik. Apakah ada perbedaan antara politisi sipil dengan pegiat parpol mantan angkatan. Beda jam terbang latar belakang. Beda nyali. Beda aneka ujaran. Lebih piawai memadupadankan hujat dengan jilat. Akal yang iya-iya sampai akal yang tidak-tidak sudah dipraktikkan. Terlebih saat praktik pertahanan. Bertahan yang baik dan benar adalah dengan melakukan serangan.

Soal keamanan, sesuai jargon politik. Semua bisa diatur. Atas bisa dielus-elus, bawah tinggal mendengus, kementus.

Jadi, kata rakyat, pihak yang diharapkan menggunakan akalnya, untuk tanah air. Sigap perang total. Musuhé sopo mbokdé mukiyo. [HaéN]