Limbuk wurung dadi ratu, kulak tamak vs amuk massa
Jauh waktu sebelum Islam masuk ke Nusantara. Animisme, dinamisme menjadi pedoman hidup. Agama bumi
ikut memantapkan kepercayaan akan adanya dalil ‘nasib besok tergantung nasib sekarang’.
Akrab gaul dengan alam. Menyerap modus binatang liar. Tak sengaja menemukan
rumusan hidup bak peribahasa, “seburuh-buruk tupai melompat, lebih butuk
manusia melompati nasibnya”. Nasib dalam batasan bahasa manusia.
“sapa sing nandur, durung
karuan tekan umur”. Paribasan oplosan, gado-gado. Tidak
ada di kamus atau gak
nyambung. Yang ahli mantuk-mantuk, ndumuk batuk cerna makna sambil tahan kantuk.
Perjalanan ‘nasib’ kaum bangsa Nusantara, acap disangsikan oleh diri
sendiri. Efek domino penjajahan oleh bangsa lain terus bergulir. Taruhan pasang
surut nasib.
Merasa diwasi roh leluhur. Merasa dipantau arwah bapak moyangnya. Keramahan
alam, kemurahan hati lingkungan hidup sedemikan dimanfaatkan. Sehingga jika ada
anak bangsa P4T-nya sedemikan untuk bisa mendaulat diri sebagai negara. Dianggap
tak tanggap nasib rakyat yang beratapkan langit.
Sisi lain merasa kalau tak ada sentuhan belas kasih pihak asing. Apa arti
hidup. Merasa kurang yakin diri. Hidup berat sebelah. Raga merdeka tapi jiwa
terjajah. Demi peradaban berpembangunan nasional bermasa depan. Tak ada aib
menerima bantuan tapi utang dari negara paling bersahabat. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar