Halaman

Rabu, 27 Februari 2019

Limbuk wurung dadi ratu, kulak tamak vs amuk massa


Limbuk wurung dadi ratu, kulak tamak vs amuk massa

Jauh waktu sebelum Islam masuk ke Nusantara. Animisme,  dinamisme menjadi pedoman hidup. Agama bumi ikut memantapkan kepercayaan akan adanya dalil ‘nasib besok tergantung nasib sekarang’.

Akrab gaul dengan alam. Menyerap modus binatang liar. Tak sengaja menemukan rumusan hidup bak peribahasa, “seburuh-buruk tupai melompat, lebih butuk manusia melompati nasibnya”. Nasib dalam batasan bahasa manusia.

sapa sing nandur, durung karuan tekan umur”. Paribasan oplosan, gado-gado. Tidak ada di kamus atau gak nyambung. Yang ahli mantuk-mantuk, ndumuk batuk cerna makna sambil tahan kantuk.

Perjalanan ‘nasib’ kaum bangsa Nusantara, acap disangsikan oleh diri sendiri. Efek domino penjajahan oleh bangsa lain terus bergulir. Taruhan pasang surut nasib.

Merasa diwasi roh leluhur. Merasa dipantau arwah bapak moyangnya. Keramahan alam, kemurahan hati lingkungan hidup sedemikan dimanfaatkan. Sehingga jika ada anak bangsa P4T-nya sedemikan untuk bisa mendaulat diri sebagai negara. Dianggap tak tanggap nasib rakyat yang beratapkan langit.

Sisi lain merasa kalau tak ada sentuhan belas kasih pihak asing. Apa arti hidup. Merasa kurang yakin diri. Hidup berat sebelah. Raga merdeka tapi jiwa terjajah. Demi peradaban berpembangunan nasional bermasa depan. Tak ada aib menerima bantuan tapi utang dari negara paling bersahabat. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar