kemandiran dan ketahanan idéologi umat Islam
Jangan-jangan atau agaknya. Bisa jadi memang itulah
kejadian, fakta otentik. Kendati bukan kesimpulan suatu kajian akademis, ilmiah
atau bahan orasi politik. Bukan pembuktian atau catatan sejarah. Bahwasanya umat
Islam merasa lebih nyaman menggunakan organisasi kemasyarakatan (ormas) sebagai
kendaraan politik. Unsur dakwah masih kental, nyata, terstruktur.
Terlebih ormas Islam yang jauh lebih berumur ketimbang
NKRI. Faktor pertimbangan lain soal masa, pengikut, anggota, kader dan sebutan
termaksud lainnya. Seperti ada ikatan moral. Lebih dari itu, yaitu persaudaraan
antar umat, ukhuwah. Hubungan akidah lebih erat kuat mengikat.
Bukan berarti umat Islam alergi, antipasti, apatis untuk
berpolitik. Tidak menampik urusan dunia. Malah sebagai aksi nyata amaliah
politik. Demi kepentingan bangsa dan negara. Untuk kemanfaatan alam, kemaslahatan
umat. Dikerjakan seoptimal daya. Sebagai tiket kembali ke surge.
Bukan pembanding. Masyarakat penggemar wayang aneka
versi. Jika menyimak panggung politik akan terheran-heran tak berbayar. Keluguan
mereka, rasanya tokoh yang tampil, raksasa dengan segala bentuk, karakter, dan
faktor kejiwaan. Tak dimonopoli kaum Adam. Gaya panggung memang atraktif,
provokatif, spektakuler.
Watak wayang yang mewakili kawanan brangasan, kelompok pentalitan, barisan cluthak, relawan
nggragas diborong habis
oleh sebuah parpol. Bahkan kekurangan stok karakter.
Umat Islam berusaha bermain di semua lini. PR global, menerus
adalah mampu bermain di segala medan, waktu, cuaca. Cerdas diri menghadapi
serangan dari musuh dalam selimut maupun serbuan musuh nyata dari semua golongan
manusia, kaum bangsa, kelompok keyakinan.
Umat Islam wajib ahli politik. Bukan sebagai alat
politik. Politik bukan segala-galanya. Tetapi politik menentukan
segala-galanya. Sukses dunia (dakwah, ukhuwah) sebagai jalan lurus yang diridhoi-Nya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar