Halaman

Senin, 11 Februari 2019

trifungsi serdadu, alat ungkit vs daya angkat vs kapasitas angkut


trifungsi serdadu, alat ungkit vs daya angkat vs kapasitas angkut

Namanya juga lagu. Bisa berlagu. Pernah didendangkan atau jadi buka suara anak zaman Orde lama. Suara bunyinya kalau ditulis santai:
Peto peto petak, peto peto jemblem
Semar mikul kotak, serdadu mikul meriem

Seingat penulis. Menjadi permainan, bagian permainan atau lagu main-mainan. Tidak dikenal siapa pengarangnya. Hasil ngarang yang enak di kuping rakyat. Coba tanya duduk perkara ke penyuka wayang.

Rasanya, masih ada ungkapan kebatinan rakyat yang didendangkan. Pelipur lara. Bukan protes atau mengkritisi keadaan. Kalau humor, belum zamannya. Masyarakat masih tabu dengan kocok perut. Dibilang ora ilok, dlonyangan.

Norma kehidupan sebagai bangsa timur. Sikap ramah tanpa tahu beda status, strata, kasta. Adab bertetangga, hubungan antar masyarakat. mulai terkoyak ketika ada menu politik ‘nasakom’.

Masyarakat Yogyakarta dihadapkan pada fakta baru tahu tentang tentara itu bagaimana. Langsung pada kondisi yang berlawanan. Tepatnya dengan makar, kudeta, pemberontakan PKI. Disebut Gerakan 30 September 1965. Pahlawan Revolusi dengan peristiwa Kentungan.

Sepertinya, masyarakat terbuka melihat adegan nyata. Bahwa di tubuh serdadu, memang manusia. Pangkat tertinggi saat itu adalah brigjen dokter Sutarto. Ada DKT di kawasan Kota Baru, kodya Yogyakarta. Betapa pangkat mayor sebagai danyon 403 Kentungan. Polisi dengan pangkat AKBP.

Loncat ke zaman sekarang. Era multipartai dengan dukungan digital. Betapa lulusan sekolah tentara, berjubel sebagai pamen. Tidak semua kebagian kursi. Jangankan pamen. Beberapa pati malah nonjob. Antrian mengular. Jabatan yang diisi pati menjadi jabatan politis. Faktor kedekatan menjadi penentu. Tidak harus antri urut angkatan. Siap menyalip dan siap disalip.

Peta dan sistem karier, daftar urutan kepangkatan, fungsi baperjakat sampai tim asas uji kelayakan dan kepatutan. Hanya sebuah formalitas. Persyaratan tertulis, administratif.

Agak pesimis tapi fakta dan atau data. Betapa kepala negara, presiden 2014-2019 mendapat stigma hanya sebagai petugas partai. Asas taat, patuh, loyal total pada kebijakan partai. Apa jadinya jika oknum ketua umum partai dimaksud mempunyai hak prerogatif. Sesuai asas anak cucu ideologis tak ada kapoknya, tak ada matinya.

Singkat kata, ringkas menurut cerita. Capres petahana merasa siapa sebenarnya dirinya. Secara politis di atas kertas, nilai jual fluktuatif. Dukungan ulama dunia, ulama istana kian tidak diri tenang. Politik luar negeri bertaji karena pelaku memang orang yang tepat. Bukan jabatan politik atau balas jasa.

Memang beda dengan politik dalam negeri. Dukungan propaganda, media pengganda berita bohong sudah kehabisan akal. Akhirnya malah mempercepat pengakhiran dirinya. Menempatkan penjaga dan atau pengaman negara menjadi pemain. Namanya politik. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar