Halaman

Sabtu, 23 Februari 2019

debat galian Pancasila, tanah all size vs tahta king size


debat galian Pancasila, tanah all size vs tahta king size

Ketika itu. Perumahan versi KPR-BTN, Perum-Perumnas maupun real estate. Belum kenal DP 0%. Promo kawasan bebas banjir. Plus yang dicari bisik-bisik, kuburan terdekat. Maklum, pendatang pengadu nasib. Beda dengan orang kantoran, tersisa lahan buat parkir.

Harga jual tanah tak tergantung permintaan. Kebutuhan akan rumah layak huni disiasati dari segala aspek. Lahan atau petak tanah bisa disulap jadi petak umpet. Kawasan perumahan minimalis dalam arti jumlah rumah. Dibuat semacam kantong, atau komersialnya sistem cluster.

Dalih daya tampung rumah. Bisa membentuk RW baru. Tipe rumah tanpa pekarangan, minim halaman. Agar kerukunan dan adab bertetangga tetap terjalin. Baiknya pengembang menyediakan PSU. Tiap blok ada ruang terbuka.

Namanya jalan pintas, potong kompas, menjadi ciri kawasan perumahan pendatang. Model cluster masih banyak gang senggol. Standar minimal terpenuhi. Motor bisa liwat. Papasan tahu sama tahu. Gerobak bisa masuk dan keluar. Tak terkecuali usungan bandoso. Soal mobil damkar, pakai selang panjang. Estafet ember.

Aspek manfaat dan fungsi. Negara adalah tempat tinggal di malam hari dan lokasi bekerja di siang hari. Kaum bangsa atau bangsa sebagai penghuni. Gerbang atau pintu masuk terbuka 24 jam. Diakses dari segala arah.

Hunian skala negara melahirkan ketua himpunan penghuni dan penguasa tanah. Akahkah lagu lawas sertifikat bertingkat masih bergulir. Satu kapling dengan aneka sertifikat. Penguasa pun, beganda. Ada penguasa formal di jam kerja. Sisanya menjadi milik penguasa malam hari.

Lahan tak bertuan menjadi pasar jual beli jabatan. Kawasan bebas rokok diplesetkan. Tak salah jika Nusantara menjadi daerah tujuan, pasar gelap terselubung. Potensial konsumen barang apa saja, asal berbau asing. Bertarif valas.

Drama kehidupan “Petruk dadi ratu” menjadi menu utama politik. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar