debat galian Pancasila, tanah all size vs tahta king size
Ketika
itu. Perumahan versi KPR-BTN, Perum-Perumnas maupun real estate. Belum kenal DP
0%. Promo kawasan bebas banjir. Plus yang dicari bisik-bisik, kuburan terdekat.
Maklum, pendatang pengadu nasib. Beda dengan orang kantoran, tersisa lahan buat
parkir.
Harga jual
tanah tak tergantung permintaan. Kebutuhan akan rumah layak huni disiasati dari
segala aspek. Lahan atau petak tanah bisa disulap jadi petak umpet. Kawasan perumahan
minimalis dalam arti jumlah rumah. Dibuat semacam kantong, atau komersialnya
sistem cluster.
Dalih daya
tampung rumah. Bisa membentuk RW baru. Tipe rumah tanpa pekarangan, minim
halaman. Agar kerukunan dan adab bertetangga tetap terjalin. Baiknya pengembang
menyediakan PSU. Tiap blok ada ruang terbuka.
Namanya
jalan pintas, potong kompas, menjadi ciri kawasan perumahan pendatang. Model cluster
masih banyak gang senggol. Standar minimal terpenuhi. Motor bisa liwat. Papasan
tahu sama tahu. Gerobak bisa masuk dan keluar. Tak terkecuali usungan bandoso. Soal
mobil damkar, pakai selang panjang. Estafet ember.
Aspek manfaat
dan fungsi. Negara adalah tempat tinggal di malam hari dan lokasi bekerja di
siang hari. Kaum bangsa atau bangsa sebagai penghuni. Gerbang atau pintu masuk
terbuka 24 jam. Diakses dari segala arah.
Hunian skala
negara melahirkan ketua himpunan penghuni dan penguasa tanah. Akahkah lagu
lawas sertifikat bertingkat masih bergulir. Satu kapling dengan aneka
sertifikat. Penguasa pun, beganda. Ada penguasa formal di jam kerja. Sisanya menjadi
milik penguasa malam hari.
Lahan tak
bertuan menjadi pasar jual beli jabatan. Kawasan bebas rokok diplesetkan. Tak salah
jika Nusantara menjadi daerah tujuan, pasar gelap terselubung. Potensial konsumen
barang apa saja, asal berbau asing. Bertarif valas.
Drama kehidupan
“Petruk dadi
ratu” menjadi menu utama politik. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar