Halaman

Minggu, 10 Februari 2019

berbagi wibawa negara dengaN


berbagi wibawa negara dengaN

Simbol kewibawaan formal dari suatu negara yang berdaulat dan  memperoleh pengakuan internasional seperti bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan. Wibawa negara juga ditentukan nilai jual, nilai tukar wibawa kepala negara.

Agak pesimis tapi fakta dan atau data. Betapa kepala negara 2014-2019 mendapat stigma hanya sebagai petugas partai. Asas taat, patuh, loyal total pada kebijakan partai. Apa jadinya jika oknum ketua umum partai dimaksud mempunyai hak prerogatif.

Harga pasar dalam negeri. Sentimen tergantung suhu badan politik. Intervensi mata uang asing selalu begitu. Kurs tengah Rp fluktuatif. Walhasil. Simbol negara dalam bentuk jabatan kepala negara, percuma dilindungi UU atau dipeihara oleh negara. Nyaris tanpa hak. Runyam, seolah kepala negara tak ada wibawa di mata pendukungnya. Dilecehkan hidup-hidup.

Ingat sejarah. Negara rakyat Indonesia menolak faham antara lain monarchi (kepala negara berketurunan). Jangan melupakan katanya, menurut cerita turun temurun. Anak cucu ideologis tak ada matinya.

Jaminan demokrasi Pancasila agar praktik pimpinan negara, terutama kepala negara, bak filosofi manunggaling kawula lan panguwasa. Sesuai format  pemerintahan NKRI.

Mesin koalisi partai politik pro-penguasa hanya besar sumbang suara, meraung garang. Terbukti capres petahana, di atas kertas butuh pihak yang mampu mengangkat dan mengangkut sisa wibawa negara. Penguasa butuh pihak yang sigap pasang badan. Tidak sekedar pembuka dan pengaman jalan. Apesing negoro margo panguwasa demen noto lan umuk pandir diri.

Jadi NKRI harga mati adalah wibawa (kepala) negara bukan bonéka. Hanya simbol belaka.

Apa kata dunia. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar