elektabilitas PSK vs popularitas capres petahana
P pada PSK jelas bukan Presiden. Bukan pula prostitusi
daring atau online. Sensasi politik kalah pamor dengan artis dan
sebangsanya yang masuk bursa lapangan kerja digital. Saking getol unjuk kinerja
berantas penyakit masyarakat, polisi setingkat kapolda atau bintang dua unjuk
muka.
Tentu bukan atas petunjuk bapak presiden. Polri melupakan
episode Buaya vs Cicak. Tahu diri untuk berantas korupsi yang bagian intengral
penyakit pemerintah. Bukan tebang pilih. Cuma jaga keamanan kursi diri. Pilih
jalur yang bisa mendongkrak prestasi dan karier. Tak usah korban diri.
Mau bicara politisi, PSK atau polisi. Mentang-mentang sama-sama
berinisal ‘P’.
Jindari kerancuan maupun racun pengkabaran. Ingat, betapa
bapak pembangunan, jenderal besar Suharto. Mampu bertahan lama ‘atas kehendak
rakyat’. Tuah bukan karena sebagai ketua
umum sebuah partai politik. Apalagi mendirikan partai politik. Apalagi bukan
perpanjangan tangan manusia politik multi nasional maupun semiglobal.
Jangan bandingkan dengan nasib presiden ketujuh RI.
Bangga dengan stigma petugas partai.
Faktor apa saja yang menentukan ambang tarif, nilai kontrak,
kurs tengah profesi ‘P’.
Zaman Orde Baru, mau daftar jadi calon presiden. Kebentur
syarat umum berpengalaman sebagai
presiden atau jabatan setingkat. Minimal satu periode atau lima tahun sesuai
konstitusi. Siap loyal total kepada kebijakan partai pengusung. Sigap jalankan
skenario investor politik global. Siaga hadiri acara seremonial, mulai
penanaman kepala kerbau hingga gunting pita.
Alenia terakhir, rasanya tak perlu dipikir untuk siapa. Kan
katanya, kata yang punya karangan bebas. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar