Halaman

Rabu, 20 Februari 2019

amal ko(n)tak demokrasi Nusantara, mengabdi vs memperabdi


amal ko(n)tak demokrasi Nusantara, mengabdi vs memperabdi

Aliran, estafet, getok tular keterpengaruhan capres petahana mendapat reaksi terselubung. Birokrasi cari aman vs sentimen cari muka. Mesin politik gaya konvensional, hanya menambah biaya perawatan.

Efek politik digital sebagai relasi buka-bukaan ‘apa dan siapa’. Kampanye politik sampai debat capres dan atau debat cawapres kian menguatkan, menyangatkan kebulatan pilihan. Media digital sebagai ajang promosi, propaganda, provokasi bak senjata makan tuan.

Rasa jenuh, rasa muak, rasa mual penduduk, rakyat, masyarakat akan penampakan watak manusia politik. Serendah-rendah derajat, matabat, status, kasta, strata, klas sosial, masih punya harga diri. Daya tepo sliro ada ambang batas kewajaran.

Pamrih masyarakat adalah agar bangsa ini tetap utuh. Soal politik ‘klas tinggi’ bukan urusan mereka. Ada istilah ekonomi kerakyatan. Rakyat sudah lama mempraktkkan, tanpa ilmu yang tak masuk akal.

Patut diingat dan tak perlu dicatat. Rakyat sebagai sahabat alam, tahu mana angin bawa hujan. Peka terhadap ‘hawa panas’ yang dibawa penguasa lokal.

Hubungan kemartabatan antara kawula dengan panguwasa sesuai kaidah makna persatuan, kesatuan dan keutuhan Nusantara. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar