sesama generasi melek sandal: martabat kaki sama, tangan beda manfaat
Wajar bin lazim, jika anak bangsa pribumi, probumi,
sukabumi Nusantara tulen. Kian bau tanah, semakin menjadi-jadi bak tua-tua
kelapa. Sudah disodok, digalah, dijolok malah tambah betah. Merasa nyaman
nangkring bebas. Aman nongkrong sampai puas.
Satu hal yang setiap saat ditemui, segala waktu dijumpai,
seluruh masa dirasakan. Indonesia sudah terbiasa hidup. Rakyat bisa hidup
memanfaatkan keramahan tanah air. Sampai kawanan manusia yang sukses dengan
keringat orang lain. Berkat nama besar leluhur. Sepasang kaki tinggal melangkah
bebas tujuan, menapak bebas hambatan, meniti bebas beban.
Seperti irigasi sawah. Air dari waduk atau sungai. Air ke
sawah, tersier malah bisa sub. Cuma ingin mengatakan secara horizontal seperti
ada strata, klas, kasta, tingkatan. Jangan lupa dengan hukum air.
Berkat memahami karakteristik air, petani sejak zaman
doeloe. Ketahanan pangan maupun kemandirian pangan tidak perlu diformalkan. Menjadi
komoditas politik. Sikap bijak petani terhadap watak dan kuasa air. Tidak diimbangi
dengan mewujudkan anak cucu petani. Kebijakan pemerintah untuk mengimbangi
kemurahan air secara ekonomis, finansial.
Air melimpah ruah. Agar bisa panen tidak tergantung
hujan. Optimalisasi manfaat tanah agar panen per Ha menggiurkan. Didukung bibit
unggul produk unggulan non-petani. Penggunaan pupuk cepat tebar, laju serap. Semprotan
obat anti hama produk asing. Diyakini tega basmi hama lokal Nusantara. Kian menambah
ongkos produksi yang menjadi tanggung jawab petani.
Memang tidak nyambung dengan pasal ‘tangan beda manfaat’.
[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar