menulislah sebelum datang penyesalan di pagi buta
Kegiatan, aktivitas, kesibukan berolah kata merangkai
kalimat. Niat saja belum cukup. Ilmu tulis-menulis juga belum pasti menunjang. Bukan
pengalaman. Begitulah kejadian yang akan datang. Bahwa menulis selain harus
melepas rasa keakuan. Masuk ke dimensi kebatinan bermodal jiwa tenang.
Jangan terjebak pada pepatah. Lihat makna simboliknya. Misal,
kandungan unsur yang diacu pada peribahasa sapa sira sapa ingsun atau "siapa
engkau siapa aku”. Ternyata adalah watak
seseorang yang sombong. Tidak mau bergaul dengan orang yang tidak sederajat.
Dari aspek lain, penafsiran peribahasa di atas
menyiratkan bentuk kehati-hatian seseorang menempatkan diri. Kata ‘engkau’
bersifat dinamis. Tetap tunggal tapi banyak yang dituju. Penulis sebagai
pejalan kaki cepat. Pokoknya yang bukan jalan kaki santai bersahaja. Jika diajak
lari santai. Lari-lari kecil. Karena beda martabat kaki, kemungkinan besar akan
menolak dengan santun.
Peka diri, rasa sensitivitas bisa masuk antara ambang
bawah dan ambang atas. Sebagai penulis bebas bisa main di semua lini. Modal perbendahaarn
kata hafalan, bisa menguraikan substansi atau disiplin ilmu apa saja. Yang terjangkau
daya akal, potensi nalar, kapasitas logika.
Pihak berwenang, berwajib yang bertanggung jawab atas
kebahasaan. Mengandalkan pasal karet untuk mengendalikan kebebasan berpendapat
melalui bahasa tulis.
Jadi ingat, kalau Cuma mengandalkan IQ, hasil tulisan
terasa tanpa rasa. Hambar dan hampa. Cuma sekedar deretan kata, tatanan
kalimat.
Katakana tanpa perlu fakta dan data. Generasi melek
sandal, begitu lihai berkomentar liwat olah ujung jari. Jari tanganmu, siap
menjerat leher sendiri. Juga tidak. Lebih ke arah pamér bégo dan unjuk pandir
diri.
Kapan mulai menulis. Begitu kita ingin segera mengakhiri
sebuah tulisan. Tulisan yang benar dan baik, akan diproduk setelah kita
menyelesaikan sebuah tulisan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar