Halaman

Jumat, 15 Februari 2019

menulislah sebelum datang penyesalan di pagi buta


menulislah sebelum datang penyesalan di pagi buta

Kegiatan, aktivitas, kesibukan berolah kata merangkai kalimat. Niat saja belum cukup. Ilmu tulis-menulis juga belum pasti menunjang. Bukan pengalaman. Begitulah kejadian yang akan datang. Bahwa menulis selain harus melepas rasa keakuan. Masuk ke dimensi kebatinan bermodal jiwa tenang.

Jangan terjebak pada pepatah. Lihat makna simboliknya. Misal, kandungan unsur yang diacu pada peribahasa sapa sira sapa ingsun atau  "siapa engkau siapa aku”. Ternyata  adalah watak seseorang yang sombong. Tidak mau bergaul dengan orang yang tidak sederajat.

Dari aspek lain, penafsiran peribahasa di atas menyiratkan bentuk kehati-hatian seseorang menempatkan diri. Kata ‘engkau’ bersifat dinamis. Tetap tunggal tapi banyak yang dituju. Penulis sebagai pejalan kaki cepat. Pokoknya yang bukan jalan kaki santai bersahaja. Jika diajak lari santai. Lari-lari kecil. Karena beda martabat kaki, kemungkinan besar akan menolak dengan santun.

Peka diri, rasa sensitivitas bisa masuk antara ambang bawah dan ambang atas. Sebagai penulis bebas bisa main di semua lini. Modal perbendahaarn kata hafalan, bisa menguraikan substansi atau disiplin ilmu apa saja. Yang terjangkau daya akal, potensi nalar, kapasitas logika.

Pihak berwenang, berwajib yang bertanggung jawab atas kebahasaan. Mengandalkan pasal karet untuk mengendalikan kebebasan berpendapat melalui bahasa tulis.

Jadi ingat, kalau Cuma mengandalkan IQ, hasil tulisan terasa tanpa rasa. Hambar dan hampa. Cuma sekedar deretan kata, tatanan kalimat.

Katakana tanpa perlu fakta dan data. Generasi melek sandal, begitu lihai berkomentar liwat olah ujung jari. Jari tanganmu, siap menjerat leher sendiri. Juga tidak. Lebih ke arah pamér bégo dan unjuk pandir diri.

Kapan mulai menulis. Begitu kita ingin segera mengakhiri sebuah tulisan. Tulisan yang benar dan baik, akan diproduk setelah kita menyelesaikan sebuah tulisan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar