Kiat Merendahkan
Martabat Diri
Mulanya budi pekerti. Karena sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, ganti
format menjadi berkelakuan baik. Memperkuat asas pengayoman oleh aparat
keamanan, ganti ramuan menjadi catatan kepolisian.
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara melahirkan tatanan utama kedaulatan bangsa dan wibawa negara. Wibawa
negara merosot utamanya dimulai ketika negara tidak kuasa memberikan rasa aman
kepada segenap warga negara, tidak mampu mendeteksi ancaman terhadap kedaulatan
wilayah, membiarkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), lemah dalam penegakan
hukum, dan tidak berdaya dalam mengelola konflik sosial.
Hukum Nusantara tidak mengenal pasal
kejahatan politik. Kendati gerakan tindak aksi politik menjadi penyebab pertama
dan utama konflik sosial.
Cuplikan, comotan tak utuh pasal 335 ayat (1) butir 2 KUHP: sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan. Akan terasa bobot pasal
maupun sanksinya jika pihak merasa mendapat menjadi sasaran ‘tak menyenangkan’
adalah penguasa, khususnya presiden
Terlebih, antisipasi terhadap
kemanfaatan produk TIk di tangan yang tak berhak. UU 11/2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik. Muncul isitilah hukum: muatan penghinaan dan/atau
pencemara nama baik.
Jujur saja. Budi pekerti yang
menjadi hak milik bangsa, terpaksa menyesuaikan diri. Diyakini bahwa dengan
amal perbuatan, amal soleh, amal kebajikan yang dapat membawa, yang mampu mengangkat
manusia ke martabat yang tinggi. Martabat hanya akan luntur jika ybs sudah
mengurangi amalan berpahala. Entah karena panggilan tugas, perintah atasan,
kebijakan partai atau petunjuk kewenangan yang melekat. Bukan karena anggapan
orang lain. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar