Halaman

Kamis, 07 Februari 2019

Kiat Merendahkan Martabat Diri


Kiat Merendahkan Martabat Diri

Mulanya budi pekerti. Karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, ganti format menjadi berkelakuan baik. Memperkuat asas pengayoman oleh aparat keamanan, ganti ramuan menjadi catatan kepolisian.

Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara melahirkan tatanan utama kedaulatan bangsa dan wibawa negara. Wibawa negara merosot utamanya dimulai ketika negara tidak kuasa memberikan rasa aman kepada segenap warga negara, tidak mampu mendeteksi ancaman terhadap kedaulatan wilayah, membiarkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), lemah dalam penegakan hukum, dan tidak berdaya dalam mengelola konflik sosial.

Hukum Nusantara tidak mengenal pasal kejahatan politik. Kendati gerakan tindak aksi politik menjadi penyebab pertama dan utama konflik sosial.

Cuplikan, comotan tak utuh  pasal 335 ayat (1) butir 2 KUHP: sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan. Akan terasa bobot pasal maupun sanksinya jika pihak merasa mendapat menjadi sasaran ‘tak menyenangkan’ adalah penguasa, khususnya presiden

Terlebih, antisipasi terhadap kemanfaatan produk TIk di tangan yang tak berhak. UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Muncul isitilah hukum: muatan penghinaan dan/atau pencemara nama baik.

Jujur saja. Budi pekerti yang menjadi hak milik bangsa, terpaksa menyesuaikan diri. Diyakini bahwa dengan amal perbuatan, amal soleh, amal kebajikan  yang dapat membawa, yang mampu mengangkat manusia ke martabat yang tinggi. Martabat hanya akan luntur jika ybs sudah mengurangi amalan berpahala. Entah karena panggilan tugas, perintah atasan, kebijakan partai atau petunjuk kewenangan yang melekat. Bukan karena anggapan orang lain. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar