tumpukan kursi di pelupuk mata semakin membutakan diri,
hamparan tanah di negara tetangga kian membabibutakan ujaran
Tak ada kaitan maupun ikatan mati. Tapi ada yang senyum
simpul. Tendensius penih aroma irama ambiius. Bak gaya guyon ki Mbilung
Gemblung. Atau kisah ki Pandir Jenaka. Zaman kuda gigit besi. Era kerbau dicucuk
hidungnya. Dipasang dadung untuk tali kendali.
Pemirsa masih ingat kisah ‘spion Melayu’.
Belum tuntas. Ingat-ingat peribahasa Aceh (sumber: “Binatang
Dalam Peribahasa Aceh”, Kemendikbud, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
2018): lagè leumo teusôk idông. Arti : Seperti lembu dicucuk hidungnya.
Amanat : Sebagai orang yang mempunyai otoritas tertentu, janganlah kita berlaku
otoriter dan egois dalam bersikap dan bertindak! Jangan sampai loyalitas dan
dedikasi kita kepada manusia mengalahkan ketaatan kita kepada Allah Swt.!
Judul di atas selain berkepanjangan, juga tidak nyambung.
Tapi asyik dikulik. Tak ada ikatan emosi dengan debat sejarah pada debar capres
putaran kedua.
Netralitasnya, jauh dari gaya tendensius. Simak peribahasa
Aceh terkait ikhwal kambing: lagè talhat kulét pisang bak takue kaméng. Artinya : Seperti menyangkutkan kulit pisang di leher kambing.
Amanat dimaksud adalah
serahkan suatu urusan kepada orang yang amanah, orang yang dapat
menjaga, memelihara, dan membinanya!
Sebagai penutup. Katakan bahwa ada peribahasa Aceh bertutur: “Geutanyo bèk lagè bue drop
daruet!”. Artinya, ‘Kita jangan seperti kera
menangkap belalang’. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar