ANAK KANDUNG
REFORMASI : KESENJANGAN POLITIK
Selasa,
23/09/2003 10:57
Kandungan energi
politik bangsa ini sudah terserap, terperas dan teresap tuntas untuk memikirkan
bagaimana keluar dalam kompetisi pemilihan umum, mempertahankan peringkatnya
dan mengejar target kursi. Kita rasakan bersama kondisi dan posisi perpolitikan
sedang terbentur, tersandung, terperosok dan terseok-seok dalam perubahan
sejarah - notabene akibat ulah sendiri, bukan kesalahan prosedur di dapur
tetangga.
POLITIK KRIMINALISASI
Di zaman Orde Baru
setiap ada pemikiran yang agak miring terhadap jalannya pemerintahan serta
merta mendapat stigma sebagai anti Pancasila dan UUD RI 1945. Angin segar
dengan muatan kritik yang dihembuskan dari kawan seiring pun, apalagi yang beda
haluan, akan segera dihantam kromo. Pergerakan massa akan dibabat habis, hanya
sejarahnya yang tersisa. Bagi lawan potensial, rangkul dahulu, dielus-elus,
diberi fasilitas agar tak vokal, dikirim ke luar negeri agar jinak, diberi
jabatan agar sedikit bungkam. Buat yang radikal, yang mempunyai pengaruh, yang
mempunyai pengikut atau yang akan menjadi batu sandungan dalam mempertahankan
kekekuasaan akan dibatasi ruang geraknya.
Aparat keamanan
sedemikan tajam pengendusannya, calon bom rakitan lokal yang masih tersimpan
dalam almari di rumah susun pun pasti dilacak keampas-ampasnya. Penghadiran
tokoh rekaan yang anti kemapanan termasuk skenario dari mereka yang selalu
ingin dekat dengan poros kekuasaan. Strategi militer dipakai untuk mengamankan
dan menenangkan rakyat. Tidak hanya demokrasi dan hati nurani yang dikebiri,
bahkan antrian untuk mendapat jatah kursi secara karir pun sudah diantisipasi
dengan sistem ADB (asal dekat bapak) alias dipolitisir luar-dalam dalam naungan
Pohon Beringin. Gerakan politik, politik praktis sebagai stigma pemerintah
untuk memberangus dinamika idiologi massa.
BUMERANG MAKAN TUAN
Peta politik di zaman
Orde Baru cukup solid, masif, terstruktur, terkendali, dan masing-masing pihak
memaklumi perannya. Ketika KKN menjadi citra dan menu utama penyelenggara
negara maka keseimbangan politik dan ekonomi menjadi terganggu. Pancasila
sebagai asas tunggal bukan sebagai obat mujarab mengatasi perseteruan antara
politik melawan ekonomi.
Klimaks goncangan
keseimbangan ketika krisis moneter merebak di tahun 1997 dan lengserkeprabonnya
Bapak Pembangunan mengakhiri babakan Orde Baru. Persoalan bangsa baru dimulai
setelah kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan bukan menjadi
"musuh" bersama. Masing-masing pihak menonjolkan ambisi dan
kepentingannya secara transparan dan berkelanjutan di era Reformasi. Ikhwal ini
dikemas dalam berpacu dalam mendirikan partai politik. Tak peduli derita rakyat
yang semakin membubung menyalip harga sembako.
POLITIK TERORISASI
Di era Reformasi ini
kinerja dan daya tanggap aparat keamanan cukup menggigit, begitu ada ledakan
bom - terlebih yang memakan korban orang kulit putih - langsung diumumkan
kelompok peledaknya sedemikian detail dan rinci. Kalau perlu para petingginya
omong duluan sebelum ada fakta yang belakangan pengadilan pun sulit
membuktikannya. Secara politis, segala urusan mengatasnamakan kedaulatan dan
martabat bangsa dalam skala global seolah bangsa ini tak punya gigi (bahkan
dalam skala ASEAN), dalam skala nasional banyak orang atau kelompok yang malah
pamer gigi - pamer kebal hukum.
Media massa dengan
tangan terbuka membeberkan dimensi teror, dalam skala teror-phobi atau
teror-minded, para pelaku mendapat promosi gratisan. Aparat keamanan bisa
menggelar fakta otentik berdasarkan laporan intelijen dalam negeri dan pesanan
intelijen mancanegara. Di sisi lain, sang terdakwa teroris klas teri nyengir
dipidana dalam lakon daripada malu hukum. Bahkan dalam tawuran pelajar Kapolri
bisa turun lapangan karena dianggap menganggu stabilitas keamanan ibukota
negara.
PEMBENARAN SEJARAH
Era Orde Baru menstimulasi
political dream yang digagas oleh Bapak Pembangunan dalam reka idiom
"pembangunan manusia Indonesia seutuhnya" melalui PJP I dan PJP II.
Idiom ini untuk membedakan dengan konsep pemerintahan orde sebelumnya yang
lebih menonjolkan retorika politik "national and character building".
Dengan Agenda Reformasi sang reformasi merasa mampu - bukannya mampu merasa -
untuk mengemudikan bahtera NKRI dengan keahlian politiknya. Sampai tingkatan
pemerintah kabupaten/kota permunculan kepala daerah ditentukan oleh tangan-tangan
partai politik.
Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) disinyalir sebagai perpanjangan tangan panjang partai politik. Akhirnya,
manajemen kekuasaan harus tetap dikangkangi oleh parpol berhaluan reformis.
Paling tidak tokoh-tokoh yang merasa berana berseberangan dengan Orde Baru akan
mempertahankan kekuasaannya secara politis. Pemilihan umum bisa direkayasa
secara demokratis. Dari berbagai tipologi orientasi politik masyarakat sejak
bangkitnya kekuatan reformasi bersifat dilematis dan dikotomis.
Akibatnya para
politikus, khususnya yang sedang nangkring sebagai penyelenggara negara,
mengadakan politik tarik ulur yang mempertaruhkan nasib bangsa. Atmosfir yang
kita hirup ini begitu terasa karena banyaknya kesenjangan politik.
§ Kesenjangan politik hanya melanda para penyelenggara negara yang sedang
naik daun yang memikirkan nasibnya di putaran berikutnya.
§ Kesenjangan politik hanya menimpa para wakil rakyat yang modalnya
pas-pasan, yang hanya sekali pentas langsung bablas tanpa ampas.
§
Kesenjangan politik hanya menerpa para pengurus parpol yang hanya kebagian
kursi tunggu, pemain cadangan.
§ Kesenjangan politik hanya menyapa parpol gurem, parpol sempalan, parpol
kambuhan, parpol karbitan, parpol kaki lima, parpol spanduk.
§ Kesenjangan politik hanya menyambar kawanan politikus yang asal tampil beda
di media massa, omong duluan bohong belakangan.
Kita akui bahwa
kestabilan politik dan menjamurnya partai politik di musim Pemilu 2004, adalah
dua kondisi yang saling bertolak belakang. Ringkasnya, kestabilan politik akan
berkorelasi dengan kestabilan keamanan. Bagi mereka yang teror-phobi atau
teror-minded melihat kesenjangan politik sebagai ajang prestasi bergengsi.
(hn).