Halaman

Jumat, 31 Januari 2014

Anak Kandung Reformasi : Kesenjangan Politik

ANAK KANDUNG REFORMASI : KESENJANGAN POLITIK
Selasa, 23/09/2003 10:57

Kandungan energi politik bangsa ini sudah terserap, terperas dan teresap tuntas untuk memikirkan bagaimana keluar dalam kompetisi pemilihan umum, mempertahankan peringkatnya dan mengejar target kursi. Kita rasakan bersama kondisi dan posisi perpolitikan sedang terbentur, tersandung, terperosok dan terseok-seok dalam perubahan sejarah - notabene akibat ulah sendiri, bukan kesalahan prosedur di dapur tetangga.

POLITIK KRIMINALISASI
Di zaman Orde Baru setiap ada pemikiran yang agak miring terhadap jalannya pemerintahan serta merta mendapat stigma sebagai anti Pancasila dan UUD RI 1945. Angin segar dengan muatan kritik yang dihembuskan dari kawan seiring pun, apalagi yang beda haluan, akan segera dihantam kromo. Pergerakan massa akan dibabat habis, hanya sejarahnya yang tersisa. Bagi lawan potensial, rangkul dahulu, dielus-elus, diberi fasilitas agar tak vokal, dikirim ke luar negeri agar jinak, diberi jabatan agar sedikit bungkam. Buat yang radikal, yang mempunyai pengaruh, yang mempunyai pengikut atau yang akan menjadi batu sandungan dalam mempertahankan kekekuasaan akan dibatasi ruang geraknya.

Aparat keamanan sedemikan tajam pengendusannya, calon bom rakitan lokal yang masih tersimpan dalam almari di rumah susun pun pasti dilacak keampas-ampasnya. Penghadiran tokoh rekaan yang anti kemapanan termasuk skenario dari mereka yang selalu ingin dekat dengan poros kekuasaan. Strategi militer dipakai untuk mengamankan dan menenangkan rakyat. Tidak hanya demokrasi dan hati nurani yang dikebiri, bahkan antrian untuk mendapat jatah kursi secara karir pun sudah diantisipasi dengan sistem ADB (asal dekat bapak) alias dipolitisir luar-dalam dalam naungan Pohon Beringin. Gerakan politik, politik praktis sebagai stigma pemerintah untuk memberangus dinamika idiologi massa.

BUMERANG MAKAN TUAN
Peta politik di zaman Orde Baru cukup solid, masif, terstruktur, terkendali, dan masing-masing pihak memaklumi perannya. Ketika KKN menjadi citra dan menu utama penyelenggara negara maka keseimbangan politik dan ekonomi menjadi terganggu. Pancasila sebagai asas tunggal bukan sebagai obat mujarab mengatasi perseteruan antara politik melawan ekonomi.

Klimaks goncangan keseimbangan ketika krisis moneter merebak di tahun 1997 dan lengserkeprabonnya Bapak Pembangunan mengakhiri babakan Orde Baru. Persoalan bangsa baru dimulai setelah kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan bukan menjadi "musuh" bersama. Masing-masing pihak menonjolkan ambisi dan kepentingannya secara transparan dan berkelanjutan di era Reformasi. Ikhwal ini dikemas dalam berpacu dalam mendirikan partai politik. Tak peduli derita rakyat yang semakin membubung menyalip harga sembako.

POLITIK TERORISASI
Di era Reformasi ini kinerja dan daya tanggap aparat keamanan cukup menggigit, begitu ada ledakan bom - terlebih yang memakan korban orang kulit putih - langsung diumumkan kelompok peledaknya sedemikian detail dan rinci. Kalau perlu para petingginya omong duluan sebelum ada fakta yang belakangan pengadilan pun sulit membuktikannya. Secara politis, segala urusan mengatasnamakan kedaulatan dan martabat bangsa dalam skala global seolah bangsa ini tak punya gigi (bahkan dalam skala ASEAN), dalam skala nasional banyak orang atau kelompok yang malah pamer gigi - pamer kebal hukum.

Media massa dengan tangan terbuka membeberkan dimensi teror, dalam skala teror-phobi atau teror-minded, para pelaku mendapat promosi gratisan. Aparat keamanan bisa menggelar fakta otentik berdasarkan laporan intelijen dalam negeri dan pesanan intelijen mancanegara. Di sisi lain, sang terdakwa teroris klas teri nyengir dipidana dalam lakon daripada malu hukum. Bahkan dalam tawuran pelajar Kapolri bisa turun lapangan karena dianggap menganggu stabilitas keamanan ibukota negara.

PEMBENARAN SEJARAH
Era Orde Baru menstimulasi political dream yang digagas oleh Bapak Pembangunan dalam reka idiom "pembangunan manusia Indonesia seutuhnya" melalui PJP I dan PJP II. Idiom ini untuk membedakan dengan konsep pemerintahan orde sebelumnya yang lebih menonjolkan retorika politik "national and character building". Dengan Agenda Reformasi sang reformasi merasa mampu - bukannya mampu merasa - untuk mengemudikan bahtera NKRI dengan keahlian politiknya. Sampai tingkatan pemerintah kabupaten/kota permunculan kepala daerah ditentukan oleh tangan-tangan partai politik.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) disinyalir sebagai perpanjangan tangan panjang partai politik. Akhirnya, manajemen kekuasaan harus tetap dikangkangi oleh parpol berhaluan reformis. Paling tidak tokoh-tokoh yang merasa berana berseberangan dengan Orde Baru akan mempertahankan kekuasaannya secara politis. Pemilihan umum bisa direkayasa secara demokratis. Dari berbagai tipologi orientasi politik masyarakat sejak bangkitnya kekuatan reformasi bersifat dilematis dan dikotomis.

Akibatnya para politikus, khususnya yang sedang nangkring sebagai penyelenggara negara, mengadakan politik tarik ulur yang mempertaruhkan nasib bangsa. Atmosfir yang kita hirup ini begitu terasa karena banyaknya kesenjangan politik.
§     Kesenjangan politik hanya melanda para penyelenggara negara yang sedang naik daun yang memikirkan nasibnya di putaran berikutnya.
§    Kesenjangan politik hanya menimpa para wakil rakyat yang modalnya pas-pasan, yang hanya sekali pentas langsung bablas tanpa ampas.
§   Kesenjangan politik hanya menerpa para pengurus parpol yang hanya kebagian kursi tunggu, pemain cadangan.
§    Kesenjangan politik hanya menyapa parpol gurem, parpol sempalan, parpol kambuhan, parpol karbitan, parpol kaki lima, parpol spanduk.
§      Kesenjangan politik hanya menyambar kawanan politikus yang asal tampil beda di media massa, omong duluan bohong belakangan.


Kita akui bahwa kestabilan politik dan menjamurnya partai politik di musim Pemilu 2004, adalah dua kondisi yang saling bertolak belakang. Ringkasnya, kestabilan politik akan berkorelasi dengan kestabilan keamanan. Bagi mereka yang teror-phobi atau teror-minded melihat kesenjangan politik sebagai ajang prestasi bergengsi. (hn). 

Selasa, 28 Januari 2014

GENERASI MUDA BEBAS ALKOHOL vs NKRI BEBAS PARPOL



GENERASI MUDA BEBAS ALKOHOL vs NKRI BEBAS PARPOL

Jumat, 20/11/2009 09:56
Penjajah masa kini tidak perlu secara fisik, apalagi dengan kekuatan militer. Melalui jalur budaya dan peradaban, dengan dukungan kemajuan komunikasi bisa merambah ke sudut desa paling terpencil. Ironisnya, banyak bangsa dewe yang rela jadi penjajah, sekaligus budak manca negara. Mulai dari pemurtadan secara sistematis, teror produk negeri tetangga, makelar kasus, mafia hukum, Israel kehidupan.

Mafia lokal pun ada good father-nya. Kalau Israel versi NKRI sangat rapi, bahkan pelaku eksekusi tidak merasa, tahu-tahu ada korban dan sisanya yang dikorbankan sia-sia. Antara dalang dan wayang tak ada bedanya. Kata Amien Rais, pagi kedele, sore tempe. Begitulah Israel versi NKRI mendominasi kehidupan partai politik (parpol). Sebagai bukti dalam pemilu dan pilpres 2009. Platform semua parpol tang ada bedanya dalam mengejar kekuasaan, kekayaan dan kekuatan.

Lima tahun ke depan (2009-2014) nasib bangsa ini sudah digadaikan. Bahkan sampai tingkat provinsi dan kabupaten/kota sudah dikapling untuk pesohor parpol. Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Demikian bunyi Pasal 1, UU RI No.40 tahun 2009 tentang Kepemudaan. Bahwa untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, diperlukan pemuda yang berakhlak mulia, sehat, tangguh, cerdas, mandiri, dan profesional. Dengan kata lain atau lain kata, pemuda maupun generasi muda harus bebas alkohol. Tidak hanya dari pemilih pemula, bahkan batita pun bisa dicekoki tayangan hiburan anak sarat dengan kandungan porno ragam, porno aksi, sihir, mistis, misteri, ajaib, ghaib. Lima tahun ke depan, kita bantu pemerintah seoptimal mungkin, jangan jadi pecundang. Masih banyak anak bangsa yang beritikad baik (hn).

Budaya Instan



Budaya Instan

Niatan untuk menggabungkan pelaksanaan pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden tahun 2014, apa pun alasan dan dalihnya, semakin membuktikan bahwa bangsa Indonesia penganut budaya instan.

Mulai generasi muda yang bermodal minimal, ingin hasil yang optimal. Pagi berangkat kerja, pulang sore membawa Rp. Atau ikut lomba pencari bakat agar tersohor. Buruh/pekerja mengandalkan jumlah turun ke jalan, menekan pemerintah puat/daerah agar upah minimum kabupaten/kota segera dinaikkan bulan depan, plus daftar tuntutan lainnya.

Jelang pemilu, muncul ratusan partai politik, dengan platform yang serupa tapi tak sebentuk. Muncul pula ratusan, bahkan ribuan anak bangsa yang merasa bisa jadi wakil rakyat. Tanpa malu ada yang menyatakan diri layak jadi RI-1.

Untuk urusan negara dan daerah jangan coba-coba, dengan pikiran sesaat dan sesat, ujung-ujungnya menyuburkan tindak pidana korupsi [HaeN]

Jumat, 24 Januari 2014

KETIKA RAKYAT TERSINGKIR, TERSUNGKUR, TERSANGKAR, TERSANGKUR, ..




Senin, 01/12/2003 10:25
KETIKA RAKYAT TERSINGKIR, TERSUNGKUR, TERSANGKAR, TERSANGKUR, ..

Herwin Nur

"Rakyat" bukan lagi sebagai fungsi demokrasi. Di masa Orde Baru rakyat diposisikan sebagai obyek pembangunan, dari Repelita ke Repelita, oleh Bapak Pembangunan yang notabene ank petani desa. Pembangunan yang adil dan merata ( merata = menggusur rakyat jelata ) menjadi kiat bersama.

Di era Reformasi peran dan posisi rakyat hanya dibutuhkan pada saat pemilu saja. Selebihnya jadi bulan-bulanan politik dan penguasa negara. Rakyat jelata tetap melata meraup sesuap nasi, butir demi butir. Rakyat dipermudah untuk jadi kambing hitam, dipermudah untuk mengantongi kartu merah.

Tersingkir, jelas ada fenomena dan wacana baru yang merebak di era Reformasi. Banyak oknum yang mengatasnamakan rakyat dalam menggapai mukti, banyak parpol yang berbasis rakyat untuk membangun empati, banyak LSM yang keluar dari liangnya untuk mengejar matahari sore - dan tak kalah banyaknya para wakil rakyat yang mendadak merasa berhak untuk mengkontrak nasib bangsa ini, untuk mengotak-atik perjalanan negara ini menuju masyarakat madani, untuk mengkotak-kotak masyarakat sebagai sumber masukan. Antrian rakyat miskin menuju pembagian sembako semakin mulur. Antrian politisi sipil menuju parlemen semakin menjulur. Antrian capres semakin membukit, dari yang tanpa modal sampai yang modal malu. Kumpulan rakyat tersingkir bisa membentuk komunitas setingkat kecamatan. Asal jangan mendirikan negara rakyat tersingkir. Mereka sudah merdeka Bung !!!

Tersungkur, ketika nestapa rakyat sampai puncaknya, sudah tidak tersisa setetes air mata pun. Sudah tidak ada tempat untuk mengadu. Bahkan Tuhan pun terasa asing di hati mereka. Mereka tersungkur dalam puncak kepapaan, dalam puncak keniscayaan untuk bangkit. Di belakang barisan rakyat, berduyun para calon wakil rakyat mendesak, mendorong, bahkan mempercepat robohnya ketahanan tanpa pamrih. Mereka sedang merdeka Bung !!!

Tersangkar, gelombang kesia-siaan pengorbanan tanpa ujung mengusung sisa-sisa semangat pengabdian rakyat. Jer basuki mowo anglo, tetap membara di nurani rakyat. Perputaran nasib rakyat semakin jelas dikungkung dalam sistem yang diciptakan sang Reformis, terselubung dalam sangkar keberuntungan dan peruntungan sebagai wong cilik, tersanjung dalam buaian janji-janji politik. Mereka masih merdeka Bung !!!

Tersangkur, sudah jatuh dari tangga tetangga ketiban dan terinjak ribuan semut merah; disengat listrik, matahari dan kumbang madu. Masih untung kata Wong Jawa, tidak ketusuk duri durian atau ketusuk sangkur sekalian. Apes-apesnya kepentung petugas Tramtib yang sedang menggusur PKL, atau kegebuk petugas kebersihan yang sedang menyapu PSK dari hotel ke hotel. Mereka memang merdeka Bung !!!

POLITISI HITAM DAN GOLONGAN PUTIH

Beranda » Berita » Opini  
Jumat, 02/01/2004 06:34
POLITISI HITAM DAN GOLONGAN PUTIH
Herwin Nur

Bak dongeng dunia persilatan dari kolong langit dan tepi bumi, perseteruan Politisi Hitam dengan Golongan Putih, yang sama-sama sebagai “racun” dalam pesta demokrasi Pemilu 2004. Mereka datang dari arah berlawanan dan mempunyai kepentingan yang nyaris bertolak belakang. Paling tidak mereka mempunyai kaitan historis. Walhasil, keberadaan Golput dipengaruhi eksistensi caleg yang bernuansa Politisi Hitam.

Sewaktu zaman Orba Politisi Hitam didominasi oleh single mayority, sedangkan di era Reformasi wabahnya sudah dibagi rata ke parpol penguasa negara. Bung Akbar Tandjung resah dengan adanya gerakan antipolitisi busuk, karena sejauh ini sang oknum memang sedang pegang rekor, belum ada yang menandingi apalagi menyalipnya.

Ada baiknya kawanan yang disinyalir berbau busuk / hitam dipilih saja, biar nanti mereka saling rebutan. Atau plus tanpa mencoblos tanda gambar parpolnya jadi tidak syah. Ini bukan himbauan atau ajakan. Kondisi perseteruan kedua kutub peserta Pemilu 2004 dihadapkan dengan pembanding dari hasil masukan Pemilih SMS. Terlihat adanya parpol dan capres yang diminati dari kalangan yang tidak gagap teknologi alias sudah melek teknologi Sambung Mulut Sambung. (hn)